- Merubah Dunia Salah Satunya Harus dengan Menulis
PUISI seperti dikutip di atas ditorehkan di makam Ali Archam – teman sejawat Semaoen, H Misbach dan Tan Malaka - di tempat pembuangannya di Digul, Tanah Papua. Menjadi “tak hilang tanpa bekas”, ketika jejak langkah tulisnya dibaca dan terbaca kembali, yang tidak saja ditemukan sejarahnya, tetapi juga membongkar historiografi yang telah bertahan lama, sebagaimana telah dilakukan Takashi Shiraisi dalam membongkar historiografi ortodox setelah menelusuri kembali naskah-naskah yang ditulis para aktivis SI (Sarekat Islam) Merah yang utamanya berbasis di kota Semarang (SI Locaal Semarang/SI Afdeling Semarang).
Takashi Shiraishi menjelaskan, Misbachlah – dan juga Mas Marco Kartodikromo, Semaoenn, serta Tan Malaka - yang mengingatkan kita akan kesalahan klasifikasi Nasionalisme, Islam, Komunisme itu dan memperingatkan kita akan pandangan nasionalis yang serampangan itu. Jika kita membuang klasifikasi dan pengamatan serampangan itu serta menghinda`f11rkan diri dari pandangan teleologis, maka pergerakan di perempat abad ke-19 akan muncul kembali dalam bentuknya sendiri yang khas. Di zaman pergerakan, pemimpin pergerakan berpikir, menulis, dan berkata serta bertindak sebagai orang pertama. Dicerahkan oleh kata-kata dan perbuatan mereka, rakyat melihat dunia dan bergerak. Akhirnya kita pun sekarang masih dapat melihat dunia mereka dengan mengikuti kata dan perbuatan mereka yang tergores dalam tulisan-tulisan yang mereka tinggalkan.
Ketika banyak orang menganggap setiap komunis itu atheis dan menghalalkan segala cara, novel “Hikajat Kadiroen”, yang ditulis Semaoenn di penjara justru berkisah tentang Toehan Alloh, tempat meminta bantuan, memberikan rasa syukur, dan sumber dari yang halal dan haram maupun masalah dari kondrat yang tak terhindarkan.
Atau tulisan dari H. Misbach di koran Medan Moeslimin: “Kami sebagai orang Islam wadjiblah dari djaoeh memboeka topi boeat tanda memberi trimakasih kepada Karl Marx jang menjadi penoenjoek djalan, karenanja kami bisa mengetahoei rintangan agama yang terbesar”….. "Ketahoilah, saja saorang jang mengakoe setia pada Igama dan djoega masoek dalam lapang pergerakan komunist, dan saja mengakoe bahoea tambah terbukanja fikiran saja di lapang kebenaran atas perintah Agama Islam itoe, tidak lain jalah dari sesoedah saja mempeladjari ilmoe kommunisme, hingga sekarang saja berani mengatakan djoega, bahoea kaloetnja kasalamatan doenia ini, tidak lain hanja dari djahanam kapitalisme dan imperialisme jang berboedi boeas itoe sadja, boekanja kasalamatan dan kemerdekaan kita hidoep dalam doenia in sadja, hingga kepertjajaan kita hal Igama poen beroesak djoega olhnja.
Dalam teks laporan kongres Komintern yang ke-4 pada tahun 1922, Tan Malaka yang mewakili Indonesia, dalam pidatonya menyebutkan bahwa ia bersikeras bahwa Pan-Islamisme berarti "perjuangan nasional untuk memperoleh kebebasan.
Bung Karno pernah berujar: “Jas Merah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Mengapa kita membaca dan belajar pada sejarah, karena kalau tiada makna buat apa menghabiskan waktu untuknya. Paling tidak, dalam pengertian yang minimal, kita sedang tidak ingin mengulang kegagalan dan belajar pada keberhasilan untuk sebuah kemajuan, maka untuk itu kita belajar pada sejarah. Dengan sejarahlah pula, para pemikir, seperti Marx, Gramsci, Semaoenn, H. Misbach, Tan Malaka, hingga Manifesto kaum pergerakan selalu menampilkan kenyataan sejarah. Tuhanpun dalam kitab suci coba mengajari manusia dengan sejarah.
Berbicara atas sejarah, bukannya kita sedang menghapalkan nama dan tanggal peristiwa dan itu selalu yang dianggap penting, oleh siapa, dan mengapa semua menganggapnya penting adalah kenyataan tentang pertanyaan pada pelajaran sejarah. Ketika History adalah His Story para penguasa untuk mengkukuhkan status dominan mereka via manipulasi sejarah dan praktek pembodohan. Tugas revolusioner kita adalah MEREBUT ALAT PRODUKSI PENGETAHUAN .
Perebutan alat produksi pengetahuan dalam rangka membangun kritisisme dan emansipasi massa adalah dengan cara menciptakan intelektual dan ilmu pengetahuan yang berpihak kepada rakyat serta kemampuan membuka media propaganda bagi rakyat.
Dalam diskusi sejarah, menarik sekali ucapan dari Dom Helder Camara: “Ketika Aku Memberi Makan Orang Lapar, Aku Disebut Orang Suci. Namun, Ketika Aku Bertanya Mengapa Orang Itu Lapar, Aku Disebut Komunis.” Ini menunjukan bagaimana kritisisme massa digebuk dengan stigmatisasi yang legitimasinya bersandar pada pdmalsuan sejarah. Maka merebut alat produksi pengetahuan juga berarti pembongkaran sejarah yang dijadikan legitimasi bagi penolakan atas kritisime massa dan penolakan atas kebijakan-kebijakan populis.
Sejarah pergerakan, adalah di mana kita memperhatikan perkembangan masyarakat secara dialektis, sehingga kita dapat melihat ruh dan aliran darah dari pergerakan. Dalam konteks Hindia Timur, Pemerintahan Kolonial telah menyediakan Buitenzorg (Bogor) untuk mengamati dan mencari rumusan penghancuran bagi kaum pergerakan. Rumah Kaca, yang dimaksudkan Pramoedya Ananta Toer adalah maksud dari itu. Produk rumah kaca adalah sejarah pergerakan yang dilihat dari permukaan yang kemudian banyak dijadik`n referensi yang melahirkan apa yang oleh Takashi Shiraishi disebut sebagai historiografi ortodoks atau historiografi cangkokan yang melihat pergerakan dalam aliran Nasionalisme, Komunisme dan Islamisme.
Ulasan tentang ideologi-ideologi kemudian menjadi sebuah “rumah-kaca” yang gagal memahami tentang bahwa para pelaku ideologi adalah orang yang sedang merespon dunia yang menurutnya bergerak dan diapun bergerak mempraktekan pergerakan dan dalam kenang-kenangan kita sekarang menjadi sebuah memori tentang sejarah pikiran yang bdrtindak. Kegagalan atas pemahaman tersebut lahir dari historiografi ortodox yang merupakan historiografi cangkokan. Yang boleh kita sebut sebagai ilmu sejarah dari kinerja intelijen pemerintah kolonial Hindia Belanda.