Perdebatan kedua kelompok diatas menimbulkan dilema pada eksitensi tafsir ilmi, apalagi ini diperparah dengan kenyataan bahwa tokoh-tokoh diantara kedua pihak merupakan para ulama yang mempunyai kredebilitas dan kedudukan yang tinggi didalam ranah dunia keilmuwan islam seperti Al-Ghazali, dari kelompok yang pro pada tafsir ilmi dan dari kelompok yang menolak tafsir ilmi ada Asy-syatibi. Meskipun mereka saling mengkritik, tapi latar belakang dari perdebatan tersebut punya satu kesamaan yaitu keduanya sama-sama berniat baik, tidak berpendapat atas dasar nafsu maupun berdasarkan kepentingan duniawi. Oleh karena itu, dari kesamaan tersebut kedua kelompok tersebut masih bisa dipertemukan dalam satu titik yang tidak memihak.
Hujjah pihak yang menolak tafsir ilmi yang mengatakan tidak boleh memahami Al-Qur’an kecuali sesuai dengan apa yang difahami oleh para ulama terdahulu (sahabat, tabi’in) menurut penilaian kami adalah suatu hujjah yang terlalu berlebihan karena yang wajib memahami Al-Qur’an bukan hanya para sahabat saja akan tetapi semua generasi sesudahnya juga wajib untuk memahami Al-Qur’an sesuai dengan fikirannya masing-masing. Sedangkan fikiran manusia setelah generasi sahabat tidak akan sama dengan pola pikir para sahabat. Karena lingkungan dan kebutuhan yang berbeda dengan para sahabat. Oleh sebab itu, memahami Al-Qur,an berbeda dengan pemahaman para sahabat merupakan hal yang wajar dan sah-sah saja agar Al-Quran mampu menjawab tantangan setiap zaman.
Ulama yang mengatakan penafsiran Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan adalah sebuah penempatan yang tidak etis karena sifat masing-masing yang kontradiksi, Al-Qur’an yang absolute kebenarannya tidak dapat disandingkan dengan ilmu pengetahuan yang bersifat labil kebenarannya. Sebenarnya pendapat ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Karena perlu diingat bahwa teori sains ada yang sudah mapan atau mantab dan ada teori yang belum mapan sehingga kemungkinaan berubahnya sangat besar. Dengan demikian teori sains yang belum mapan inilah yang tidak boleh digunakan dalm menfsirkan ayat AlQur’an. Kalau memang ada temuan sains yang cocok dengan dohir ayat Al-Qur’an dan menurut keyakinan kita itu adalah benar, apakah harus dibiarkansaja?, sedangkan menyambunyikan kebenaran ayat allah tidak dibenarkan dalam Al-Qur’an, Al-Baqarah[2]:159,
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang Telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati”
Al-Quran memang bukan kitab biologi, fisika atau yang lainnya. Al-Quran adalah kitab suci yang punya peranan memberi petunjuk dan hidayah kepada semua manusia akan tetapi bukankah memahami fenomena alam dapat menimbulkan efek ketebalan iman. Sehingga sebenarnya tafsir ilmi sesuai dengan tujuan Al-Quran itu sendiri yang ingin memberi hidayah.
Dari kemungkinan memahami Al-Qur’an dengan sains diatas muncullah kelompak yang menerima tafsir ilmi tapi dengan syarat- syarat tertentu. Qurais shihab mengatakan ada beberapa aspek yang harus di perhatikan dalam menfsirkan Al-Qur’an sacara ilmiyah. Aspek-aspektersebut adalah sebagai berikut:
(1) Bahasa; (2) Konteks ayat-ayat; dan (3) Sifat penemuan ilmiah.
1. Bahasa
Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan Al-Quran dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.
Dahulu Al-Thabariy (251-310 H), misalnya, menjadikan syair-syair Arab pra-Islam (jahiliah) sebagai salah satu referensi dalam menetapkan arti kata-kata dalam ayat-ayat Al-Quran. Bila apa yang ditempuh Al-Thabariy ini dikaitkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka penafsiran tentang ayat Al-Quran dapat saja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Atau dengan kata lain, kita -yang hidup pada masa kini- tidak terikat dengan penafsiran mereka yang belum mengenal perkembangan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, kata 'alaq (terdapat dalam QS 96:2) tidak mutlak dipahami dengan "darah yang membeku", karena arti tersebut bukan satu-satunya arti yang dikenal oleh masyarakat Arab pada masa pra-Islam atau masa turunnya Al-Quran. Masih ada lagi arti-arti lain seperti "sesuatu yang bergantung atau berdempet".
Dari sini, penafsiran kata itu dengan implantasi, seperti apa yang dikemukakan oleh embriolog ketika membicarakan proses kejadian manusia, tidak dapat ditolak. Muhammad 'Abduh berpendapat bahwa adalah lebih baik memahami arti kata-kata dalam redaksi satu ayat, dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadap kata tersebut dalam berbagai ayat dan kemudian menetapkan arti yang paling tepat dari arti-arti yang digunakan Al-Quran itu.
Metode ini, antara lain, ditempuh oleh Hanafi Ahmad dalam tafsirnya ketika memahami bahwa penggunaan kata dhiya' untuk matahari dan nur untuk bulan (QS 10:5). Ini mengandung arti bahwa sumber sinar matahari adalah dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan bersumber dari sesuatu selain dari dirinya (matahari). Pemahaman ini ditarik dari penelitian terhadap penggunaan kata dhiya' yang terulang -dalam berbagai bentuknya- sebanyak enam kali dan nur sebanyak lebih kurang 50 kali.
Disamping kedua metode di atas, perlu pula kiranya dipertimbangkan tentang perkembangan arti dari suatu kata. Karena disadari bahwa ketika mendengar atau mengucapkan suatu kata, maka yang tergambar dalam benak kita adalah bentuk material atau yang berhubungan dengan materinya. Namun, dilain segi, bentuk materi tadi dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Sebagai contoh, kata "lampu" bagi masyarakat tertentu berarti suatu alat penerang yang terdiri dari wadah yang berisi minyak dan sumbu yang dinyalakan dengan api. Namun apa yang tergambar dalam benak kita dewasa ini tentang gambaran material tersebut telah berubah. Yang tergambar dalam benak kita kini adalah listrik.
Kita tidak dapat membenarkan seseorang menafsirkan arti sayyarah (QS 12:10 dan 19; dan 5: 96) dengan mobil. Walaupun demikian, itulah terjemahannya yang secara umum dipakai dewasa ini, karena pada masa lalu, mobil -dalam pengertian kita sekarang- belum ada. Namun, kita dapat membenarkan penafsiran zarrah dalam ayat-ayat Al-Quran, dengan atom karena kata ini menurut Al-Biqa'iy (885 H/ 1480 M), "digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang amat kecil."
Selain aspek yang dikemukakan di atas, aspek-aspek kebahasaan lainnya pun perlu mendapat perhatian. Mustafa Mahmud, misalnya, ketika menafsirkan surah Al-'Ankabut, ayat 41, mengatakan bahwa yang membuat sarang laba-laba adalah betina laba-laba bukan jantannya. Karena, katanya, ayat tersebut menggunakan kata kerja mu'annats "ittakhadzat" bukan "ittakhadza"
Menurutnya, Al-Quran telah mengisyaratkan bahwa tali-temali yang dihasilkan oleh laba-laba dalam membuat sarangnya bukanlah sesuatu yang rapuh, karena penelitian ilmiah membuktikan bahwa tali-temali tersebut, dalam kadar yang sama, lebih kuat daripada baja atau sutera-sutera alam.
'Aisyah Abdurrahman binti Al-Syathi', Guru Besar Studi Ilmu-ilmu Al-Quran Universitas Qarawiyin di Maroko, serta Sastra Bahasa Arab di Universitas Kairo, menanggapi pendapat di atas. Ia menyatakan: "Para pelajar bahasa Arab tingkat pertama mengetahui bahwa bahasa ini menggunakan bentuk mu'annats (feminin) untuk kata al-ankabut (laba-laba), sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk mufrad (tunggal) dari kata-kata: namlah, nihlah, dan dawdah (semut, lebah, dan ulat)".
Dengan demikian, menurutnya, bentuk mu'annats untuk kata al-'ankabut dalam ayat ini adalah atas pertimbangan bahasa dan tak ada hubungannya sedikit pun dengan biologi. Dari sini dapat dipahami mengapa ulama-ulama Tafsir berkesimpulan bahwa "tidak wajar kita beralih dari pengertian hakiki suatu kata kepada pengertian kiasan (majazi), kecuali bila terdapat tanda-tanda yang jelas yang menghalangi pengertian hakiki tersebut".
Tetapi, adalah tidak wajar jika kita menetapkan suatu pengertian terhadap satu kata atau ayat terlepas dari konteks kata tersebut dengan redaksi ayat secara keseluruhan dan dengan konteksnya dengan ayat-ayat yang lain.
2. Korelasi Ayat
Selain menguasai kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga dituntut untuk memperhatikan korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya. Hal ini penting, mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi turun ayat, melainkan berdasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan ayat yang berikutnya. Memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi.
Disamping memperhatikan konteks ayat dari segi kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan --bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin ilmu-- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu'iy, yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Quran tentang masalah yang dibahas itu.
3. Sifat Penemuan Ilmiah
Bertitik tolak dari prinsip "larangan menafsirkan Al-Quran secara spekulatif", maka penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Quran. Sebagaimana diketahui, sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak. Otentisitas dan validitasnya dapat diuji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif sejarah, kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah sekalipun. Oleh sebab itu, pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja tidak dapat diterima.
Al-Qur'an yang menantang umat manusia sejak pertama kali diturunkan itu harus berpijak pada dasar yang kokoh, oleh sebab itu menurut Zaghlul, kita hanya diperkenankan untuk membuktikan kemukjizatan ilmiah Al-Qur'an dengan memanfaatkan fakta dan hukum sains yang tetap saja tak berubah lagi, meski dimungkinkan adanya penambahan dan penguatan hakikat itu di masa mendatang. Ketentuan ini berlaku umum bagi ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur'an, dengan pengecualian ayat-ayat penciptaan; baik terkait alam semesta, kehidupan, dan manusia. Karena dalam pandangan Prof. Zaghlul, proses "penciptaan" (Creation) adalah bersifat gaib dan absolut karena tak ada seorang manusia pun yang menyaksikan kejadian besar itu, dan karenanya, tak dapat tunduk kepada penglihatan dan indera manusia. Allah swt berfirman: Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri, dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.Al-Kahfi[18]: 51
Artinya:
“Aku tidak menghadirkan mereka (iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi dan tidak (pula) penciptaan diri mereka sendiri; dan tidaklah Aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.”
Seseorang bahkan tidak dapat mengatasnamakan Al-Quran terhadap perincian penemuan ilmiah yang tidak dikandung oleh redaksi ayat-ayatnya, karena Al-Quran tidak memerinci seluruh ilmu pengetahuan, walaupun ada yang berpendapat bahwa Al-Quran mengandung pokok-pokok segala macam ilmu pengetahuan. Contohnya Ayat berikut: Al-Anbiya'[21]:30,
Artinya:
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Ayat ini menjelaskan bahwa langit dan bumi pada suatu ketika merupakan suatu gumpalan kemudian dipisahkan Tuhan, merupakan suatu hakikat ilmiah yang tidak diketahui pada masa turunnya Al-Quran oleh masyarakatnya. Tetapi ayat ini tidak memerinci kapan dan bagaimana terjadinya hal tersebut.
Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan pendapatnya tentang "kapan dan bagaimana", tetapi ia tidak berhak untuk mengatasnamakan Al-Quran dalam kaitannya dengan pendapatnya jika pendapat tadi melebihi kandungan redaksi ayat-ayat tersebut. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa seseorang dihalangi untuk memahami arti suatu ayat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut sejalan dengan prinsip ilmu tafsir yang telah disepakati, maka tak ada persoalan.
Dahulu, misalnya, ada ulama yang memahami arti sab' samawat (tujuh langit) dengan tujuh planet yang mengedari tata surya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu. Pemahaman semacam ini, ketika itu, dapat diterima. "Ini adalah suatu ijtihad yang baik yang merupakan pendapat seseorang, selama dia tidak mewajibkan dirinya mempercayai hal tersebut sebagai suatu i'tiqad (kepercayaan) dan tidak pula mewajibkan kepercayaan tersebut kepada orang lain." Pemahaman semacam ini tidak dapat dinamakan "tafsir", tetapi lebih mirip untuk dinamai tatliq (penerapan).
Selain syarat yang di tawarkan oleh Qurais shihab di atas Sheikh Khalid Abdurrahman juga menetapkan beberapa syarat yang berbeda. Diantarannya, Tidak mentafsirkan ayat-ayat Kauniyyat melainkan dari dua golongan: Mereka yang ahli dalam bidang pengajian ilmi Tabi’at (Kauniyyat), Mereka yang ahli dalam bidang ilmu Tafsir.
Kesimpulan Alasan Dari Kelompak Yang Pro Tafsir Ilmi
Powered by Blogger.
0 komentar:
Post a Comment