Islam dan Barat Benturan Budaya yang Tak Kunjung Usai


Oleh : Abdul Hadi WM
Islam dan Barat, atau Barat dan Islam, adalah kisah benturan peradaban yang langgeng dan tak kunjung usai. Selama hampir 1300 tahun orang-orang Eropa memandang Islam sebagai ancaman terbesar bagi peradaban dan kebudayaan mereka. Penyebab awalnya berkaitan dengan persoalan sistem kepercayaan yang berbeda, baru kemudian dikaitkan dengan masalah ekonomi, politik dan kebudayaan. Karenanya sejak itu pula mereka menyusun berbagai siasat dan strategi untuk menghancurkan dan memporakporandakan kebudayaan serta peradaban Islam. Untuk memahami akar dari prasangka dan anggapan Barat bahwa Islam merupakan ancaman terbesar bagi peradaban dan kebudayaan mereka, kita perlu melihat sejarah di belakang kita – tepatnya ketika agama Islam muncul sebagai agama baru pada abad ke-7 M.
Ketika agama Islam muncul dan berkembang dengan pesatnya, kekaisaran Byzantium baru saja mengalahkan kemaharajaan Persia di Hilal Subur, Iraq, tidak jauh dari perbatasan Semenanjung Arab yang telah dikuasai kaum Muslimin. Selama hampir sepuluh abad dua adikuasa ini terlibat dalam peperangan memperebutkan wilayah-wilayah yang strategis khususnya di Timur Tengah dan Afrika Utara. Pada abad ke-7 M itu pula agama Kristen telah mapan dan mantap sebagai agama resmi kekaisaran Byzantium. Doktrin trinitas telah disahkan sebagai satu-satunya aqidah Kristen yang diakui. Madzab-madzab Nasrani lain yang tidak mengakui trinitas dan ketuhanan Yesus seperti aliran Nasaritah (Nestoria), Yaakibah (Yacobian), Koptik dan lain-lain dianggap sebagai aliran sesat. Sejalan dengan itu, Injil Barnabas juga tidak diakui karena mengandung ajaran yang cenderung menolak ketuhanan Yesus.
Tetapi tidak lama setelah Byzantium memperoleh kemenangan atas Persia, pasukan kaum Muslimin menyapu bersih kemarahajaan Persia dan wilayah-wilayah yang dikuasai Byzantium misalnya Syam, Pelestina, Mesir, Iraq dan Yaman Wilayah-wilayah ini sangat strategis karena merupakan gerbang masuk ke daratan Asia dan laluan perdagangan internasional yang menghubungkan Asia dengan Eropa dan Afrika. Anggapan bahwa Islam merupakan ancaman besar benar-benar menjadi kenyataan dan bukan merupakan isapan jempol.
Telah dikatakan bahwa anggapan orang Eropa Kristen terhadap Islam sebagai ancaman besar berakar dalam perbedaan yang menyolok antara aqidah dan doktrin Kristen dengan aqidah dan doktrin Islam. Lahirnya agama Islam dan pesatnya perkembangan agama ini dalam waktu yang relatif singkat, menumbuhkan perasaan benci yang amat mendalam. Betapa tidak. Doktrin trinitas yang mereka agungkan digugat habis-habisan oleh ajaran tauhid Islam. Yesus Kristus yang mereka yakini sebagai putra Tuhan, dianggap hanya sebagai nabi seperti halnya nabi-nabi lain sebelum Isa. Islam juga menolak anggapan bahwa yang mati di palang salib adalah Yesus Kristus untuk menebus dosa umat manusia. Bagi Islam yang mati di palang salib adalah orang lain yang rupanya mirip Nabi Isa a.s. Nabi Isa sendiri raib entah kemana berkat pertolongan Tuhan.
Orang Islam juga yakin bahwa Injil yang berada di tangan orang Nasrani dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, bukanlah kitab Injil yang pernah diwahyukan kepada Nabi Isa dalam bahasa Suryani (Syria Kuna). Memang, seperti halnya orang Kristen, orang Islam percaya pada hari kebangkitan serta sorga dan neraka. Namun tentang pahala yang diperoleh orang beriman di sorga, terdapat perbedaan yang menggelisahkan bagi orang Kristen. Orang Islam percaya bahwa penghuni sorga akan hidup bahagia bersama pasangan mereka yang cantik atau tampan. Orang Kristen beranggapan bahwa orang Islam patuh menjalankan syariat agama karena mempunyai pamrih sensual dan seksual. Agama Kristen melarang penganutnya berpoligami, agama Islam membenarkan poligami. Ini menjadi sasaran kecaman orang Barat terhadap Islam berikutnya.
Persoalan-persoalan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan bahwa akhir abad ke-8 M, setelah berhasil menguasai Andalusia dan semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal sekarang), pasukan kaum Muslimin berhasil menerobos wilayah Perancis, salah satu jantung utama peradaban Kristen pada masa itu. Pada abad ke-16 dan 17 M, peristiwa serupa terulang lagi. Pasukan Turki Usmani memporak-porandakan Eropa yang selama satu milenium membangun peradaban dan kebudayaan dengan tenang, tanpa gangguan yang berarti dari luar benua itu. Bahkan pada abad ke-18 dan 19 M, ketika kekuasaan kolonial Eropa (Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Perancis) telah mencengkram banyak negeri dunia termasuk wilayah kaum Muslimin yang luas, sekali lagi pasukan Turki Usmani yang perkasa menusuk jantung Eropa dan memporak-porandakan kota-kota mereka. Mereka hampir saja menguasai Hongaria dan Austria, pintu masuk utama ke Eropa Barat dan Skandinavia. Kenyataan ini semakin memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama pedang yang disebarkan melalui peperangan dan tindakan kekerasan, dan karenanya merupakan ancaman besar bagi peradaban Eropa. Untuk membendungnya merupakan kewajiban bangsa Eropa, sebab kalau dibiarkan tatanan dunia akan porak poranda disebabkan hadirnya agama yang lahir di padang pasir Arabia yang tandus itu.
Namun Barat lupa bahwa lebih sepuluh abad sejak tahun 600 SM hingga abad ke-7 M saat lahirnya agama Islam, tidak henti-hentinnya kemaharajaan Romawi dan Makedonia menggobrak-abrik wilayah yang dihuni orang-orang Semit dan Persia, yang nantinya akan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Mereka lupa bahwa kerajaan-kerajaan nenek moyang bangsa Arab seperti Hira, Petra, Himyar, Palestina dan lain-lain telah berulang kali diserbu dan menjadi ajang rebutan kekaisaran Romawi dan Persia. Selama beberapa abad pula orang Arab hidup di bawah penjajahan bangsa Romawi. Orang Arab baru memperoleh kesempatan merebut kembali wilayah nenekmoyang mereka setelah datangnya agama Islam. Itulah sebabnya, bagi bangsa Arab agama Islam dipandang sebagai agama yang membebaskan dan menyelamatkan, serrta dapat mempersatukan mereka. Jadi pandangan mereka sangat berbeda dari pandangan orang Eropa yang menetapkan Islam sebagai sumber bencana dan malapetaka.
Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1096-1270 M) dalam enam gelombang, menambah parah kebencian orang Eropa terhadap Islam, dan sebaliknya orang Islam terhadap Eropa Kristen. Orang Eropa jengkel karena tidak memperoleh kemenangan yang diharapkan dari peperangan yang lama itu dan tidak pula berhasil merebut Yerusalem tempat salib suci disimpan. Ketika itu kekuasaan Bani Saljug di wilayah Iraq, Iran dan sebagian Asia Tengah sedang mencapai puncaknya. Pada akhir abad ke-11 M Armenia, yang merupakan wilayah paling timur dari kekaisaran Byzantium ditaklukkan oleh pasukan Saljug. Perang dahsyat berkobar pada tahu 1071 di Manzicert, dekat perbatasan Armenia dan Anatolia. Tentara Byzantium mengalami kekalahan telak. Hasrat Byzantium untuk membalas kekalahannya itu berubah menjadi perang agama.
Dalam Encyclopaedia of World History (1956:255) William K. Langer menggambarkan sebab-sebab timbulnya Perang Salib I (1906-1099). Menurut Langer perang ini bermula dari permintaan bantuan pasukan dari kaisar Byzantium kepada Paus Gregorius VII. Setelah bala bantuan datang dari berbagai negara Eropa, berupa 300.000 tentara reguler, Paus Gregorius VII mengubah bantuan militer menjadi Perang Suci (Perang Salib) melawan tentara Islam yang dianggapnya kafir. Hasrat Byzantium untuk berperang ditambah lagi dengan berita-berita buruk yang disebarkan para peziarah Kristen yang berkunjung ke Yerusalem. Setelah mereka kembali ke kampung halamannya, mereka menebar issue bahwa orang Kristen di Yerusalem dan Palestina banyak yang dianiaya dan disiksa, serta wanita-wanita mereka diperkosa oleh tentara Saljug. Ini menimbulkan amarah kaisar Byzantium di Kontantinopel. Berita pun segera tersebar ke seluruh daratan Eropa.
Ketika itu sedang terjadi pula pergolakan internal dalam tubuh gereja Katholik. Gereja Romawi dan Gereja Yunani Ortodoks saling bersaing merebut kepemimpinan umat Kristen. Paus Gregorius VII berkeinginan menjadikan Perang Salib itu sebagai upaya menyatukan Dunia Kristen. Pada saat Perang Salib sedang digodog, Paus Gregorius VII diganti oleh Paus Victor II dan Victor II diganti pula oleh Paus Urbanus II (1088-1099). Ketika Paus Urbanus II dinobatkan muncul pula Paus tandingan berkedudukan di Auvergne, Perancis, yaitu Paus Clement III (1084-1100). Kaisar Alexius dari Byzantium selain meminta bantuan Paus di Roma, juga menghimbau seluruh umat Nasrani di Eropa untuk membantu rencana perangnya. Dalam imbauannya Kaisar Byzantium memnjanjikan bahwa barang siapa berani bergabung dengan tentara salib, sebagai balas jasanya akan dilimpahi kekayaan dan memperoleh wanita-wanita Yunani yang cantik jelita.
Perang Salib tambah berkobar disebabkan khotbah keliling yang dilakukan seorang rahib bernama Peter the Hermit. Menurut sang rahib barang siapa yang ikut berperang membela kehormata agama Kristen akan mendapat pengampunan dosa, walaupun dahulunya ia seorang penyamun dan penjahat. Demikianlah tentara Salib berangkat ke medan perang pada bulan Agustus 1095 dan pada permulaan tahun 1096 perang pun berkobar. Meskipun tentara Salib mengalami kekalahan di Anatolia dan Armenia, mereka berhasil menguasai Yerusalem selama beberapa tahun.
Fakta-fakta yang telah dikemukakan cukup memberi gambaran bahwa sejak awal orang Eropa atau Barat memerlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam, baik Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki kebudayaan dan peradaban berbeda dari mereka. Selama beberapa abad kekaisaran Byzantium di Konstantinopel berhasil membangun tembok tinggi yang memisahkan secara tegas antara dunia Islam di Timur dan dunia Kristen di Barat. Kesalahpahaman Eropa terhadap Islam adalah buah yaang dihasilkan oleh pembangunan tembok pemisah antara dua peradaban ini. Sumber-sumber Byzantium yang memandang Islam sangat buruk dalam semua aspek dari ajaran agamanya dijadikan kacamata Barat dalam memandang dan menyikapi Islam.
Dikatakan misalnya bahwa agama Islam tidak lebih dari aliran sesat dan bentuk kermutadan yang timbul dari agama Kristen. Dengan kata lain, Islam adalah ajaran Kristen yang menyimpang. Muhammad adalah nabi palsu, yang memperoleh pengetahuan agama dari seorang pendeta Kristen bernama Bahira. Kitab suci al-Qur`an pula dianggap sebagai kitab yang dibawa di atas tanduk lembu putih. Lebih jauh dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah tukang sihir yang berhasil meyakinkan orang banyak bahwa dia memperoleh wahyu dari Tuhan setelah melakukan ritual yang menjijikkan, yaitu melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita di luar nikah.
Namun demikian pada abad ke-12, seusai Perang Salib I, keinginan mengetahui ajaran Islam secara lebih benar mulai muncul di kalangan terpelajar Eropa. Al-Qur’an mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, begitu pula karya-karya penulis Muslim Arab dan Persia. Terjemahan al-Qur’an pertama dalam bahasa Latin ditulis oleh seorang sarjana Inggris Robert dri Ketton pada tahun 1143 M. Kemudian pada abad ke-13 dan 14 M , upaya memahami ajaran Islam ditumpukan pada dua hal; Pertama, mencari kemiripan ajaran al-Qur’an dengan Bibel; kedua, menyusun alasan-alasan logis untuk mengecam Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi palsu. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang tidak memiliki mukjizat seperti Isa Almasih tidak layak mengaku diri sebagai Nabi dan Rasul Tuhan. Dua hal inilah yang menjadi target utama serangan pemuka agama Kristen terhadap kaum Muslimin dan agama Islam.
Menurut mereka orang Islam terdorong melakukan jihad karena dua hal. Pertama, ingin membetulkan ajaran Kristen yang salah dan menyimpang dari tradisi monotheisme Ibrahim dan memperoleh pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Mereka lupa bahwa Perang Salib, yang oleh mereka dipandang sebagai perang agama Kristen melawan kekafiran Islam, tidak dimulai oleh orang Islam. Apa yang dilakukan oleh Bani Saljug dan penguasa Byzantium sebelum Perang Salib meletus, semata-mata perang memperebutkan wilayah demi kekuasaan politik dan sumber-sumber ekonomi. Adalah penguasa-penguasa Kristen Eropa dan penguasa gereja yang pertama kali menyebut Perang Salib sebagai perang agama, perang antar budaya dan peradaban. Orang Islam tidak pernah melihat perang di Armenia itu sebagai perang agama.
Kecaman lain yang ditujukan kepada Islam ialah berkenaan dengan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. Tetapi mereka lupa bahwa Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dan lain-lain mempunyai istri lebih dari satu, tetapi tidak membuat mereka berkeinginan untuk mengecam nabi-nabi ini. Mereka juga lupa bahwa dalam Perjanjian Lama (Old Testatamen) Nabi Luth dilukiskan berhubungan seksual dengan putrinya sendiri, karena ketika itu penduduk Sodom dan Gomorra hampir musnah. Gambar kemurtadan Islam dapat dilihat dalam Divina Comedia (Komedi Ketuhanan) karangan Dante, pengarang Italia yang masyhur pada abad ke-13 M. Dalam bukunya itu Nabi Muhammad digambarkan sebagai penghuni neraka yang paling rendah dan mendapatkan siksaan berat karena dosa-dosanya mengajarkan aliran sesat. Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan bahkan Sultan Saladin pahlawan Perang Salib, dilukiskan mendapat hukuman ringan dari Tuhan.
Pandangan orang Eropa pada zaman Renaissan dan Reformasi (abad ke-15 – 16 M) tidak berubah, padahal mereka telah mulai memandang gereja secara kritis. Polydare Virgil, ahli sejarah abad ke-15, mengulang pandangan Kristen abad pertengahan ketika menggambarkan Nabi Muhamad. Nabi dikatakannya sebagai tukang sihir, yang mendpat pelajaran agama dari pendeta Kristen dan ajaran sesatnya disebarkan melalui kekerasan dan janji-janji tentang kenikmatan seksual di sorga yang akan diperoleh jika seseoang berjuang di jalan Tuhan. Ensiklopedi yang disusun oleh Bartolomeus d’Hesbelot, Bibliothque Orientale, memulai entrinya dengan kalimat-kalimat serupa. Bahkan Edward Gibbon (abad ke-18) yang mengagumi Nabi Muhammad dalam bukunya The Decline and Fall of Roman Empire, merasa ogah untuk membenarkan risalah ketuhanan yang disampaikan Nabi Muhammad s.a.w.
Martin Luther, pendiri Protestanisme bersama-sama dengan Calvin dan Zwingli, menyamakan kemurtadan Muhammad dengan penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja Katholik Romawi terhadap ajaran Nabi Isa a.s. Dalam sebuah dramanya berjudul La Fanatisme, ou Mahomet le prophete, Voltaire (akhir abad ke-18 M) menggambarkan bahwa ketika Nabi Muhammad akan wafat, beliau mewasiatkan kepada para penggantinya (khalifah) agar kejahatan-kejahatan yang dilakukan beliau dirahasiakan agar tidak merusak keimanan kaum Muslimin.
Pada permulaan abad ke-18, memasuki zaman Aufklarung (Pencerahan) sebenarnya sejumlah sarjana Eropa sedang sibuk membangun dasar-dasar pemahaman yang lebih luas tentang Islam dan kebudayaan Timur. Ketika itu pamor agama Kristen mulai luntur. Tetapi prasangka-prasangka yang dibangun oleh Kristen Byzantium belum bisa dikikis dalam jiwa manusia Eropa yang mulai sekular. Bahkan walaupun sejumlah sarjana dan pemuka masyarakat bersimpati pada kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Islam, namun pemahaman mereka tentang segala hal masih tetap terkungkung oleh Eropanisme. Khusus mengenai Islam, bertahannya prasangka lama itu antara lain disebabkan oleh ketakutan mereka terhadap ancaman tentara Usmani Turki, yang pada abad ke-18 M memang sangat kuat.
Baru pada akhir abad ke-18 orang Eropa mulai yakin bahwa mereka dapat melakukan hubungan produktif dengan dunia Islam, bahkan dapat mengalahkan dan menguasai mereka. Perubahan sikap itu terjadi karena dua hal: Pertama, pada tahun 1798 secara dramatis Perancis menaklukkan Mesir tanpa mengalami banyak kesukaran. Untuk merebut hati orang Islam, Napoleon menggunakan jargon-jargon yang diambil dari ajaran Islam. Kedua, setahun kemudian, 1799 pasukan Inggris memenangkan pertempuran di Mysore India melawan tentara Dinasti Mughal. Tidak lama kemudian pada permulaan abad ke-19 Rusia berhasil menaklukkan negeri-negeri kaum Muslimin di Kaukasus dan wilayah Asia Tengah yang lain. Belanda berhasil mengatasi perang anti-kolonial yang ditujukan kepadanya di pulau Jawa dan Sumatra, khususnya Perang Diponegoro di Jawa Tengah dan Perang Padri atau Imam Bonjol di Sumatra. Perang anti-kolonial ketiga yang paling berat dihadapi Belanda setelah Perang Diponegoro dan Padri, ialah Perang Aceh. Perang Aceh dipicu antara lain oleh seruan ‘jihad’ melawan kolonial oleh Syekh Abdul Samad al-Falimbangi.
Ketika itu sebenarnya orang Eropa telah mulai bebas dari kungkungan pandangan gereja dan agama Kristen, dan pemahaman terhadap Islam beserta kebudayaan dan peradabannya menjadi lebih mungkin. Apalagi setelah berkembangnya pemikiran humanisme Tetapi justru pada masa yang penuh peluang itulah, tumbuh dan berkembang orientalisme – suatu bangunan ilmu pengetahuan tentang dunia Timur, khsususnya Islam, yang dirancang mengikuti metode dan kepentingan Barat. Setelah orientalisme berkembang inilah kampanye misionaris menentang Islam kian menjadi-jadi. Bersama-sama penguasa kolonial mereka berusaha melucuti kekuatan umat Islam secara politik, ekonomi, militer, budaya dan intelektual.
Di Hindia Belanda tokoh utama orientalisme yang berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah kolonial mengenai Islam ialah Snouck Hurgronje. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan Padri, kaum orientalis membuat konstruksi ilmu yang akan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan modern, terutama untuk kaum terpelajar Indonesia. Dalam konstruksi ilmu tersebut, Islam – kebudayaan, peradaban, sejarah dan agamanya – ditempatkan sebagai outsider dan dipandang sebagai sesuatu yang asing dalam sejarah kebudayaan bangsa Indonesia (Tauqik Abdullah 1997). Sementara itu citra Islam yang buruk terus menerus dipropagandakan ke khalayak masyarakat luas.
Salah satu buku penting yang berpengaruh dalam memberikan citra negatif tentang ialah buku Sir William Muir A Life of Muhammad, terbit di Bombay pada tahun 1851. Ketika buku ini terbit, pemerintah kolonial Inggeris sedang gencar menggalakkan missi dan zending Kristen. Yesus Kristus atau Isa Almasih diberi gambaran sebagai manusia superstar sedangkan Nabi Muhammad adalah utusan setan. Para missionaris tidak bosan-bosannya mengutip bagian dari buku Willia0 Muir ini dalam menyebarkan agama Kristen di kalangan orang-orang India yang beragama Hindu dan Islam. Dalam buku itu Nabi Muhammad disebut Mahound (roh jahat) yang menyebarkan agama melalui kekerasan dan kegiatan seksual. Bandingkan gambaran dalam buku Muir ini dengan gambaran dalam buku Salman Rushdi yang menghebohkan pada akhir 1980an The Satanic Verses.
Gambaran bahwa Islam merupakan agama kekerasan dan menghalalkan kebebasan seks, semakin kuat menghunjam benak bangsa Eropa pada abad ke-19. Akar penyebabnya ialah kenyataan bahwa pemerintah kolonial Eropa menghadapi sejumlah perlawanan sengit dari para ulama dan pemimpin tariqat sufi sebelum menaklukkan negeri Islam. Perlawanan kaum Muslimin berlangsung sengit sejak abad ke-18 hingga abad ke-20 M, khususnya di Aljazair, Lybia, Iraq, Iran, India, Afghanistan dan Indonesia. Dalam perangnya menentang kehadiran kolonialisme Eropa itu kaum Muslimin mengusung issu jihad melawan kekuasaan raja kafir. Itu tidak keliru, karena penjajahan bukan hanya menghancurkan kehidupan ekonomi dan kedaulatan politik kaum Muslimin, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi kebudayaan dan kehidupan agama.
Pangeran Diponegoro diceritakan pernah mengatakan kepada utusan pemerintah Belanda yang menawarkan perdamaian kepadanya, “Jika orang Belanda mau memeluk agama Islam, kami tidak akan melakukan perlawanan dan akan menyambut anda dengan tangan terbuka.” Ucapan serupa pernah dikemukakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dari Aceh kepada kepala perwakilan dagang VOC. Iskandar Muda menawarkan orang Belanda memeluk agama Islam dan dengan demikian akan leluasa melakukan aktivitas perdagangan di Sumatra tanpa gangguan yang berarti. Ini menunjukkan bahwa motif perlawanan terhadap kolonialisme bukan sekedar masalah politik dan ekonomi.
Dalam bukunya yang telah disebutkan William Muir mengatakan, “Pedang Muhammad dan al-Qur’an adalah musuh paling berbahaya bagi Peradaban, Kebebasan dan Kebenaran yang dijunjung tinggi oleh dunia yang beradab!” Kurang lebih seperti inilah pemahaman tentang Islam yang hidup dalam jiwa dan pikiran para pemimpin Eropa, sebelum dan sesudah Perang Dunia II, dari zaman Napoleon sampai zaman Bush dan Tonny Blayr.
Gambaran tentang Islam sebagai agama kekerasan dan menghalalkan kekebasan seks dapat dilihat dalam banyak buku karangan sarjana dan pengarang Eropa abad ke-19 M. Misalnya dalam novel Gustave Falubert, novelis Perancis abad ke-19 dan buku Erdward Lane, seorang sarjana Inggris. Gambaran dan pemahaman serupa juga dapat dilihat dalam sajak “Hari Terakhir Olanda di Tanah Jawa” karangan Multatuli, novelis Beland abad ke-19 yang masyhur karena novelnya Max Havelaar.. Dalam sajak ini Multatuli mengatasnamakan dirinya sebagai Sentot Alibasya, panglima perang tentara Diponegoro. Dikatakan misalnya bahwa, tentara Muslim Jawa tidak akan pernah puas jika hanya memperoleh kemenangan di medan perang. Mereka baru akan puas jika dapat menggauli noni-noni Belanda yang cantik dan montok setelah memenangkan pertempuran di medan perang. Pada bagian akhir sajak itu dikatakan, bahwa perang anti-kolonial tidak akan dihentikan sebelum, “Orang Jawa berlutut di depan Muhammad, dan dibebaskan bangsa yang terlembut, dari cengkraman anjing-anjing Kristen.”
Memang selama dua abad ini tidak sedikit sarjana Barat yang berusaha memberikan pemahaman yang simpatik terhadap agama Islam dan kaum Muslimin. Itu terjadi sejak Goethe hingga Esposito. Konsili Vatikan yang kedua beberapa dasawarsa yang lalu, menyerukan pula agar umat Kristiani lebih meningkatkan toleransinya kepada kaum Muslimin, karena agama yang mereka anut adalah agama monotheis seperti agama Kristen. Tetapi sejauh mana seruan itu dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Barat yang hegemonik, tidak seorang pun tahu. Begitu pula sejauh mana pengaruh pandangan para orientalis yang simpatik terhadap Islam dapat mengubah pikiran dan jiwa orang Eropa dan Amerika yang telah keruh, tidak seorang di antara kita dapat menjawabnya.




0 komentar:

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic
Powered by Blogger.

Blog Archive

Followers

OUR FACEBOOK

Sponsor Blog

Site Info

Copyright © 2012 Makalah Dunia ModernTemplate by :Urangkurai.Powered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.