Menurut aturan Islam, perceraian diibaratkan seperti pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan sakit akibat lukanya, dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan "yang menyakitkan" yang harus dijalani. Itulah alasan mengapa jika tidak dapat rujuk lagi, maka perceraian yang diambil.
Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut "talak" atau "furqoh" adapun arti dari talak ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian.
Adapun yang dimaksud dengan putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri, yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.
Alasan-alasan perceraian menurut UU
mengenai alasan perceraian, UU perkawinan hanya mengaturnya secara umum yaitu bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup ada alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri (pasal 34 ayat 2 UU perkawinan). Di dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 14 dinyataka hal-hal yang menyebabkan terjadinya karena alasan-alasan sebagai berikut :
a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dilihat dari pasal 116, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding dengan pasal 14 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative penting karena sebelumnya tidak ada.
Alasan-alasan perceraian diatas secara limitatif ( terbatas pada apa yang disebutkan UU saja ) dan disamping itu harus ada alasan seperti yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 2 UUP, maka jelas kepada kita bahwa UU sangat mempersulit terjadinya perceraian. Apalagi prosedur perceraian itu, haruslah melalui pengadilan yang berwenang dan sebelum hakim memutuskan perkara perceraian itu dia terlebih dahulu mengadakan perbagai usaha perdamaian diantara suami istri itu, baik dilakukan sendiri maupun bantuan pihak lain.
Dengan ketentuan tersebut diatas, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan sewenang-wenang oleh salah satu pihak suami-istri dan apabila mereka akan bercerai terlebih dahulu harus diuji dan diperiksa, apakah perceraian tersebut dapat dibenarkan oleh UU atau tidak. Ketentuan ini merupakan sebagian dari tuntutan kaum wanita
Oleh karena itu, diharapkan agar hakim dapat memikul tanggung jawab yang besar dengan kesadaran tinggi akan jiwa dan tujuan yang diatur dalam UU perkawinan serta harapan masyarakat pada umumnya.
Alasan perceraian menurut hukum Islam
Kebolehan meminta cerai atau menceraikan itu digariskan dalam fiqih Islam sebagaimana diungkapkan dalam kitab-kitap fiqih berbunyi:
وتردّ المرأة بخمسة عيوب : با الجنون والجدام والبرص والترتق والقرن . ويرد الررجل أيضا بخمسة عيوب بالجنون والجد والبرص والجب والعنة
" seorang istri boleh dikembalikan (diceraikan) karena menderita lima hal; gila, penyakit kusta, berpenyakit supak, alat kelaminnya tersumbat tulang atau karena alat kelaminnya tersumbat daging"
Demikian halnya istri pun boleh meminta cerai apabila suaminya menderita lima hal, yaitu; gila, berpenyakit kusta, berpenyakit supak, alat kelaminnya bunting atau impotent.
وان وجدت المرأة زوجها وجنونا اومجذووما اوابرص او مجيوبا أوعتينا ثبت لها الجيار
" jika seorang istri sudah nyata baginya bahwa suaminya menderita sakit gila, sakit lepra atau sakit impotent, maka boleh memilih antara memfasakh perkawinannya atau memutuskannya.
Ketentuan fiqhiyah ini merupakan solusi yang amat manusiawi, sebagai agama mulia, Islam tidak menghendaki pemiliknya hidup menderita. Bisa kita bayangkan betapa menderitanya seorang suami yang istrinya tidak memberikan pelayanan seksual. Demikian pula sebaliknya maka dengan ketentuan fiqhiyah tersebut suami tidak akan menderita berkepanjangan. Dia bisa dengan segera mengakhiri penderitaannya lantaran diperbolehkan menceraikan istrinya yang tidak mampu memberikan pelayanan itu, dan kemudian bisa memperistri wanita lain yang normal. Sebaliknya bagi istri yang suaminya tidak mampu melakukan persetubuhan, dia pun bisa meminta cerai.
Diperbolehkan bercerai lantaran salah satu dari pasangan suami-istri tidak mampu melakukan persetubuhan ini, lebih memperkuat asumsi demikian esensialnya keberadaan seks dalam persuami-istrian. Hubungan seksual merupakan inti pernikahan yang mutlak harus dilakukan secara wajar.
Adapun alasan-alasan yang lain yaitu:
a. Karena ketidakmampuan suami memberi nafkah, yaitu mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan yang diperlukan bagi kehidupannya. Jika istri tidak bisa menerima keadaan ini, maka dia bisa meminta kepada sang suami untuk menceraikannya, sementara istri benar-benar tidak sanggup menerimanya, pengadilan yang menceraikannya.
b. Karena suami bertindak kasar, misalnya suka memukul, untuk melindungi kepentingan dan keselamatan istri, atas permintaan yang bersangkutan pengadilan berhak menceraikannya.
c. Karena kepergian suami dalam waktu yang relative lama, tidak pernah ada dirumah, bahkan imam Malik tidak membedakan apakah kepergian itu demi mencari ilmu, bisnis, atau karena alasan lain. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu dan merasa dirugikan, pengadilan yang menceraikannya. Berapa ukuran lama masing-masing masyarakat atau Negara bisa membuat batasan sendiri melalui undang-undang.
d. Suami dalam status tahanan atau dalam kurungan. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu, maka secara hokum, ia bisa mengajukan masalahnya kepengadilan untuk diceraikan.
Jika tuntutan perceraian dari pihak istri harus lewat pengadilan, sementara tuntutan yang sama dari pihak suami cukup ditangani sendiri karena apabila ia menceraikan istrinya, dipikulkan beban nafkah pasca perceraian. Sebagaimana yang tercantum dalam al Qur'an
Artinya: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
0 komentar:
Post a Comment