Pemikiran Gusdur: Benarkah Arafat Pemimpin Gerakan Islam?

Benarkah Arafat Pemimpin Gerakan Islam?
Oleh: Abdurrahman Wahid*

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membawa tiga orang pemimpin organisasi Islam Indonesia ke upacara penguburan Yasser Arafat, pemimpin Palestina yang meninggal dunia di Paris dalam usia 75 tahun. Ketiga orang itu adalah Hidayat Nurwahid (PKS), Hasyim Muzadi (NU) dan Din Syamsuddin (MUI). Walaupun ia juga membawa pejabat pemerintah lainnya dan Agung Laksono (Ketua DPR RI), namun hal itu menunjukkan SBY menganggap Arafat sebagai pemimpin gerakan Islam. Karena itulah, patut kita pertanyakan benarkah Yasser Arafat seorang pemimpin gerakan Islam? Jawaban akan hal ini memang tidak penting sekali artinya, karena bagaimanapun juga Arafat adalah orang besar yang memiliki kharisma tersendiri. Tetapi dalam kompleksitas pekembangan politik di Timur Tengah, status seseorang, apakah ia seorang pemimpin gerakan Islam ataukah pemimpin gerakan kebangsaan, menjadi sangat penting artinya. Untuk memperoleh kepastian tentang status Arafat itulah tulisan dibuat dan agar masyarakat kita tahu benar dan tidak keliru memahaminya.

Terlebih dahulu kita harus menyadari benar bahwa kabilah Filistin (dari mana bangsa Palestina berasal) sebenarnya bukanlah bangsa Arab. Suku Filistin, Phoenisia (dari mana orang Lebanon berasal) dan Israel adalah tiga dari dua belas kabilah (suku bangsa) yang mendiami kawasan pantai timur laut Tengah itu beberapa ribu tahun yang lalu. Nama-nama mereka diabadikan oleh kitab suci Torah (dalam bahasa Al-Quran disebut Taurat). Karenanya bahasa mereka sangat berdekatan dan sangat banyak persamanya dengan bahasa Arab. Kita tidak tahu tepat, bahasa siapa yang diambil dan yang dibuang, namun yang jelas kemudian bahasa Filistin dan Phoenisia akhirnya hilang dari peredaran untuk digantikan oleh bahasa Arab. Tetapi cukup banyak kalangan bangsa Arab tidak mau mengakui hal itu.

Karena perasaan seperti itulah, almarhum Raja Hussein dari Yordania dengan gampang memerintahkan legiun Arab untuk menumpas gerilyawan Palestina di perbatasan Yordania pada tahun 1970. Ini adalah suatu bukti bahwa perasaan orang-orang Palestina dianggap oleh cukup besar bangsa Arab sebagai bukan dari kalangan mereka.Tetapi justru Inilah yang membuat Arafat besar di mata orang-orang Palestina, dan memberikan kepadanya kharisma sebagai pemimpin yang dicintai rakyat. Yaitu karena Arafat berhasil membuat orang-orang Palestina diterima oleh mayoritas bangsa Arab sebagai bagian dari diri mereka.Walaupun ia tidak menerima Pan Arabisme Nasionalis-Sosialistik dari Gamal Abdel Nasser, atau mendukung pemerintahan tidak demokratis dari para penguasa Arab, namun hasilnya pada umumnya rakyat Arab menyetujui anggapan bahwa orang orang Palestina adalah bagian dari bangsa Arab. Ini ditunjang oleh kenyataan bahwa banyak sekali kaum profesional (terutama guru/tenaga pengajar,para dokter dan hakim) adalah orang orang Palestina, yang tersebar di banyak negara-negara Arab. Bahwa Arafat dianggap sebagai salah seorang pemimpin dunia Islam oleh satu dua orang pemimpin lain, tidak berarti bahwa anggapan itu benar.Tak ada seorangpun pemimpin Arab lainnya, maupun rakyat Arab sendiri, menganggapnya demikian.

Dalam hal ini, penulis lalu ingat akan disertasi berjudul “Islam Against the West: Shakib Arslan and the Campaign for Islamic Nationalism” yang ditulis oleh Cleveland tentang diri Shakib Arsalan pengarang buku “Limadza Ta’akh-kharal Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum” (Mengapa orang Islam terkebelakang dan yang lain-lainnya maju?). Dalam distersasi doktoralnya itu Cleveland menyebut Arsalan bukanlah orang Arab, karena sebab itu Arsalan mengemukakan Islam ideologis sebagai acuan, agar ia dapat diterima di kalangan kaum Muslimin sebagai pejuang yang gigih. Ini dilakukannya agar ia tetap menjadi anggota parlemen dari wangsa atau dinasti Utzmaniyyah (Ottoman empire) yang mengusai dunia Islam sebelum tahun 1924.

Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Inipun yang menjadi sebab dari timbulnya beberapa gerakan sempalan (splinter groups) dalam gerakan Islam seperti Hammas dan Brigade Al Aqsa di kalangan orang-orang Palestina. Bagaimanapun juga mereka tetap saja menjadi minoritas dari bangsa Palestina, sehingga tidak dapat dikatakan bangsa Palestina adalah bangsa Muslim, karena cukup besar juga prosentasi orang beragama Kristiani di kalangan mereka. Walaupun Arafat menyantuni dan terkadang tampak lemah di hadapan dua kelompok Muslim itu dalam banyak hal, tidaklah berarti ia dianggap pemimpin Islam oleh mereka. Bahkan dalam kenyataan, ia harus berpisah ranjang dari istrinya yang bernama Suha yang beragama Kristiani, jelas karena ia dimarahi oleh golongan keras itu, dan ia tidak menggunakan haknya sebagai seorang pria Muslim yang boleh beristri Kristiani atau Yahudi.
****

Dari kasus diatas, dapat dilihat bahwa Arafat bukanlah pemimpin Islam melainkan seorang pemimpin kebangsaan (nationalist leader) Palestina. Kenyataan inilah yang harus kita pegangi untuk tidak melakukan perhitungan politik yang salah. Karena bangsa Palestina kebanyakan adalah muslim dengan sendirinya puncak teratas kepemimpinan bangsa itu beragama Islam. Hal itu tidak hanya berlaku bagi Arafat, tapi akan berlaku pula bagi para pemimpin Palestina lainnya, seperti Mohammed Dahlan, Ahmad Qorei alias Abu A’la yang sekarang menjadi perdana menteri, Mahmud Abbas alias Abu Mazen (mantan perdana mentri dan wakil Arapat dalam gerakan Al-Fatah yang menjadi tulang punggung PLO).

Dalam mengembangkan kebijakan luar negeri, yang berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan geopolitis, pengetahuan dasar semacam ini sangat diperlukan agar kita tidak membuat kesalahan politik yang besar terhadap bangsa Palestina. Karena ini mengandung implikasi sangat luas dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang terkait dengan kawasan Timur Tengah. Kepentingan kita sebagai negara dan bangsa, harus diutamakan di atas pertimbangan pertimbangan ‘emosional’ kita. Dengan tidak mengutamakan pendapat- pendapat obyektif dan rasional dalam menentukan kebijakan luar negeri kita, sama seperti dengan kebijakan ekonomi, budaya, demi kepentingan kita sendiri sebagai bangsa dan negara, maka hal itu akan mengakibatkan kita menjadi pihak yang lemah.

Dalam hal pandangan obyektif ini, penulis pernah mengemukakan kepada seorang ahli pertanian agar kita juga”pandai” dalam mengembangkan sikap swasembada beras yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam pandangan penulis, istilah swasembada beras berarti menyesuaikan jumlah hektar sawah untuk ditanami padi guna kepentingan bahan makanan kita sendiri. Sementara areal tanah selebihnya, harus ditanami produk-produk agribis lainnya untuk dijual di pasar dunia.

Sekali kita keliru dalam memandang peta politik internasional, akan sulit untuk memperbaiki kesalahan dalam kebijakan luar negeri. ”Kesalahan” itu dilakukan Amerika Serikat dengan dengan menduduki Iraq pada saat ini, berakibat pada meluasnya perlawanan bersenjata di bumi Mesopotamia itu terhadap AS. Akibatnya AS harus banyak mengorbankan banyak tentaranya dan melakukan pemboman besar-besaran atas kota Fallujah di Iraq tengah. Belum lagi perlawanan bersenjata di Baqubah di timur laut Iraq (perbatasan dengan Iran dan Najaf makam Sayyidina Ali, sekitar 130 KM diselatan Baqdad). Begitu pula AS tidak segera menampakan keinginan membentuk. pemerintahan federal, karena komposisi penduduk yg beragam kaum yaitu orang Kurdi, Sunny dan Syiah di kawasan negara itu, namun tetap menyatakan perlunya negara unitaris di kawasan itu.
*****

Tentu saja dengan berbicara tentang bangsa palestina, kita tidak dapat meninggalkan pembicaraan mengenai hubungan kita dengan negara Israel. Harus digunakan kenyataan, bahwa diperlukan adanya sikap yang adil terhadap bangsa palestina dan bangsa dan negara Israel. Pada ujungnya, ini berarti perlunya pengakuan Israel akan negara Palestina merdeka. Persoalanya adalah bagaimana hal itu juga kita perjuangkan? Dengan mengakui secara resmi adanya negara Israel atau tidak? Kalau jawabnya ya, apakah dasar-dasarnya ?

Di sini ingin penulis ingin kemukakan bahwa Israel secara konstitusional adalah negara yang mengakui Tuhan dan agama. Kalau kita dapat memberikan pengakuan diplomatic kepada negara-negara yang tidak mengakui Tuhan dan agama seperti Uni Sovyet dahulu dan Republik Rakyat Tiongkok, tentu saja sangat mengherankan bahwa kita sebagai bangsa dan negara yang tidak berdasar agama tertentu, tidak memberikan pengakuan diplomatik kepada bangsa dan negara Israel. Semua ini adalah proses politik, yang dalam sejarah berarti tindakan membuat kebijakan yang umum, bukan?

Jakarta, 18 November 2004

0 komentar:

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic
Powered by Blogger.

Blog Archive

Followers

OUR FACEBOOK

Sponsor Blog

Site Info

Copyright © 2012 Makalah Dunia ModernTemplate by :Urangkurai.Powered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.