Identitas Diri Di Masa Transisi |
Oleh: Abdurrahman Wahid Beberapa waktu yang lalu, penulis menerima telepon dari seorang teman. Ia minta restu penulis untuk berkampanye bagi pasangan capres Wiranto-Shalahudin Wahid untuk Pemilu Presiden 5 Juli 2004 yang akan datang. Kata teman itu, “kasihan Gus Solah, ia harus ditolong. Kalau tidak maka seorang cawapres yang mendompleng ‘nama’ NU yang akan menang.” Penulis menjawab, ia bebas berkampanye untuk siapapun karena tidak melanggar undang-undang. Tetapi penulis tetap akan golput karena demokratisasi dimatikan oleh Komite Pemilihan Umum (KPU) dan tidak seorangpun membela hal itu di lingkungan bangsa ini. Ada seorang kawan Kristiani meminta penulis untuk tidak mengambil posisi di luar sistem politik yang ada. Penulis menjawab, “biarkan saya melakukan hal itu. Bukankah Anda mendukung penulis? Tapi mengapa dalam hal ini malahan Anda meminta penulis untuk tidak berjuang apa-apa bagi kepentingan demokrasi, yang toh ujung-ujungnya juga akan menjamin posisi hukum Anda. Adilkan itu? Memang sudah “nasib” penulis yang bertugas untuk hal-hal itu. Sejak dahulu mempertahankan hak kaum minoritas Tionghoa, dengan membela legalisasi perkawinan umat Konghucu di Pengadilan Tinggi Surabaya, di jaman jaya-jayanya Pak Harto. Hingga sekarang membela demokrasi, di saat tidak ada seorangpun melakukan hal itu, karena kuatnya status quo yang ada. Mau tidak mau inilah pilihan yang harus dijalankan penulis, tidak perlu ada ketakutan. Karena itulah, dalam percakapan telpon yang dikemukakan di atas, penulis mengatakan orang itu berhak untuk berkampanye untuk siapapun, termasuk Wiranto-Shalahudin Wahid. Namun penulis sendiri tetap berketetapan hati untuk melakukan golput demi untuk memperjuangkan demokratisasi di negeri kita. Karena itu, penulis yakin bahwa masih akan ada yang berani memperjuangkan demokrasi, selama masih ada pemimpin yang memperjuangkan demokrasi. Apa yang tidak penulis katakan kepadanya adalah, begitu banyak berita bahwa para peserta kampanye pasangan capres-cawapres yang merasa ‘cantik dan ganteng’ itu, tidak besar jumlahnya. Kalau pun mereka semua memilih, jumlahnya juga tidak signifikan dan hanya merupakan “hiasan politik” belaka. Belum pernah gairah pemilu tampak serendah sekarang, mungkin hanya sekitar 10 % dari jumlah pemilih yang ada. Hal itu karena para calon pemilih dibuat merasa tidak ada artinya berpemilu kali ini. Tentu saja hal ini berbahaya, tapi akan lebih berbahaya membiarkan proses demokrasi yang digagalkan oleh KPU, yang melanggar UU No. 23/1992 dan UU No.4/ 1997. Bahwa KPU melakukan pelanggaran hukum sedangkan lembaga-lembaga seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan seluruh pengadilan tidak membela undang-undang. Jadi memang sudah waktunya sistem politik kita harus diganti. Justru penggantian sistem politik untuk “menggagalkan” sikap pihak-pihak yang melanggar hukum pemelihara status quo yang bergabung di belakang KPU itu, harus melalui proses demokratisasi. Kalau di negeri ini masih ada orang yang berani memimpin perjuangan menegakkan demokrasi maka rakyat banyak akan melihat masih ada harapan, paling tidak untuk memelihara kebebasan berbicara dan sebagainya. Karena itu, kalaupun ada sedikit yang tidak memberikan suara/pilihan dalam pemilu ini, jumlah itu akan merupakan “modal” yang tidak ternilai harganya bagi perjuangan demokratisasi tersebut. Inilah maksud penulis yang bersikap golput alias tidak memberikan pilihan. Penulis rasa jumlah sedikit atau banyak bukanlah masalah, yang terpenting bahwa ada “modal dasar” bagi yang akan melakukan perjuangan tersebut. Memang, tidak ada perjuangan yang langsung berhasil, sehingga jumlah kecil para pendukung demokratisasi, bukanlah sesuatu yang harus disesalkan. Lalu, mengapakah baru sekarang hal itu dilakukan di kalangan rakyat luas? Menurut penulis, rakyat merasa sekarang sudah tiba waktunya melakukan hal itu, dengan prinsip untuk memegang peranan sangat penting. Walaupun kita tidak boleh mengurangi arti perjuangan demi perjuangan yang telah dilakukan untuk demokratisasi kehidupan bangsa di masa lampau. Perjuangan itu hampir seluruhnya masih merupakan “perjuangan moral”. Baru sekarang lah ia menjadi “perjuangan politik”, dan dengan demikian mempunyai arti sendiri. Jika aspek politik ini tidak disertai, maka jelas sekali seluruh bangunan perjuangan menengakkan demokrasi di negeri kita, tidak memiliki relevansi apapun. Dalam kerangka inilah harus dipahami maksud perjuangan penulis menengakkan demokrasi melalui pemilu untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden tanggal 5 Juli 2004 itu. Jadi, perjuangan kali ini tidak memiliki ‘kekuatan moral’ seperti dahulu, tetapi ia sarat dengan ‘perjuangan politik’. Tentu saja nanti hasilnya harus diberi keabsahan (legitimasi) sebagai sesuatu yang mencerminkan moral kita sebagai bangsa. Demokratisasi yang tadinya memiliki ‘wajah moral’ dan kini ‘wajah politik’, mengharuskan kita untuk mampu melakukan perjuangan moral, kultural dan politk secara simultan. Cara gabungan ini, kira-kira yang justru membawa hasil bagi kita sebagai bangsa. Sudah tentu ada yang mengajukan kritik atas “pendekatan” ini. Penulis tidak memiliki monopoli atas kebenaran dalam hal ini, tetapi perkenankanlah penulis memberikan ruang bagi bermacam-macam pendekatan itu demi demokrasi dan kemerdekaan itu sendiri. Nantinya kita akan mempunyai kekuatan berlipat ganda, yang justru akan mensukseskan perjuangan itu sendiri. Di lihat dari sudut pandangan ini, apa yang dilakukan penulis dan kawan-kawan, justru harus didasarkan pada semangat saling mendukung semua pihak yang memperjuangkan demokratisasi, termasuk mereka yang dengan sadar menilai kelakuan KPU saat ini sudah “keterlaluan” dan melampaui batas. Dengan demikian, perjuangan berdasarkan lebih banyak “kebersamaan” daripada kebenaran yang menjadi monopoli kita sebagai kelompok, tentunya sedikit banyak akan merubah pola perjuangan yang sudah ada. Di sinilah kedewasaan kita sebagai bangsa di uji keabsahannya. Sebuah perjuangan multidimensi seperti ini sebenarnya lebih sulit dilakukan, daripada perjuangan moral yang pernah dilakukan selama ini. Salah-salah kita dapat kehilangan orientasi semula, dan berputar-putar pada tataran yang tidak jelas. Karena perjuangan dengan dimensi berganda, maka dengan sendirinya kita tidak dapat hanya menyertakan satu aspek dalam bangsa ini sebagai “tanda” jati diri (identitas). Dari hal itu timbul pertanyaan: benarkah kita menjadi bangsa yang bermoralitas tinggi, dengan mengabaikan kompromi-kompromi politik demi untuk memelihara kemurnian perjuangan? Batas-batas apa yang dapat dilakukan sebagai “kompromi politik, dengan pihak-pihak yang tadinya tidak sejalan dengan cara-cara kita? Mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, akan mendorong kita untuk kembali bertanya kepada diri sendiri. Manakah yang benar antara kemurnian perjuangan” dengan “kompromi politik” yang kita juga belum tahu batas-batasnya? Namun yang terpenting, menjadi kewajiban kita untuk menjaga agar perjuangan itu berada tetap pada nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya. Penyimpangan sedikitpun, apalagi yang dilakukan oleh demikian banyak warga negara akan berujung pada kehacuran. Manakala ia berkembang “salah arah”, tergantung kepada kita jugalah untuk mengembalikan ke mana perjuangan akan berkembang. Memang mudah mengatakan untuk menemukan identitas diri di masa transisi, namun sulit diterapkan, bukan? Jakarta, 15 Juni 2004 |
0 komentar:
Post a Comment