Tipe kepemimpinan dapat diartikan sebagai bentuk pola atau jenis kepemimpinan, yang didalamnya diimplementasikan satu atau lebih perilaku atau gaya kepemimpinan sebagai pendukungnya. Secara teoritis, tipe-tipe kepemimpinan dalam pendidikan dapat dibagi menjadi tiga tipe. Antara lain:
1. Kepemimpinan Otokratis
Kepemimpinan yang semuanya serba bergantung terhadap pemimpin (Burhanuddin, 2002:138). Dalam kepemimpinan yang otokratis, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya, memimpin adalah menggerakan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokratis hanya dibatasi oleh undang-undang penafsirannya sebagai pemimpin tidak lain adalah menunjukkan dan memberi perintah kewajiban bawahan atau anggotanya hanyalah mengikuti dan menjalankan tidak boleh membantah ataupun mengajukan saran.
Pemimpin yang otokratis tidak menghendaki rapat-rapat, atau musyawarah berkumpul atau rapat hanyalah berarti untuk menyampaikan instruksi-intruksi setiap perbedaan pendapat diantara anggota-anggota kelompoknya diartikan sebagai kepicikan, pembangkangan, atau pelanggaran disiplin terhadap perintah atau instruksi yang telah ditetapkannya (Purwanto, 2005:49).
Menurut Martoyo tipe otoriter ini mengangggap kepemimpinannya merupakan hak pribadinya dan berpendapat bahwa ia dapat menentukan apa saja dalam organisasi, tanpa mengadakan konsultasi dengan bawahannya yang melaksanakan. Pengawasannya sangat tegang pula sehingga tepat apabila kepemimpinan atau pemimpin tipe ini dimanfaatkan untuk keadaan darurat, dimana suatu konsultasi dengan bawahan sudah tidak mungkin lagi (Martoyo, 2000:185).
Kepemimpinan ini berdasarkan atas perintah-perintah pemaksaan dan tindakan yang agak Arbitres dalam hubungan pemimpin dengan pihak bawahan. Pemimpin di sini cenderung mencurahkan perhatian sepenuhnya pada pekerjaan, yang melaksanakan pengawasan seketat mungkin dengan maksud agar pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan rencana. Pemimpin otokratis menggunakan perintah-perintah yang biasanya diperkuat oleh adanya sanksi-sanksi diantaranya, disiplin adalah faktor yang terpenting (Winardi, 2000:62).
Disamping itu Karjadi mengungkapkan kepemimpinan otokratis artinya pemimpin menganggap organisasi sebagai untuk milik pribadi ia bertindak sebagai diktator terhadap para anggota organisasinya dan menganggap mereka itu sebagai bawahan dan merupakan sebagai alat, bukan manusia. Cara menggerakan para anggota organisasi dengan unsur-unsur paksaan dan ancaman-ancaman pidana (Karjadi, 2000:8).
Sedangkan Nawawi (2003:125), menambahkan pengertian kepemimpinan otokratis sebagai berikut:
- Berorientasi pada pelaksanaan tugas sebagai pelaku yang terpenting dalam mewujudkan dalam kepemimpinan yang efektif.
- Pelaksanaan tugas tidak boleh keliru atau salah atau menyinggung dari instruksi pimpinan.
- Pemimpin bertolak dari prinsip bahwa "manusia lebih suka diarahkan tanpa memikul tanggung jawab dari pada diberi kebebasan merencanakan dan melaksanakan sesuatu yang berarti harus memikulkan tanggung jawab".
- Tidak ada kesempatan bagi anggota organisasi untuk menyampaikan inisiatif, kreatifitas, saran, pendapat, dan kritik, karena fungsinya adalah melaksanakan tugas, bukan berfikir untuk menciptakan dan mengembangkan tugas organisasi.
- Tidak berorientasi pada hubungan manusiawi dengan anggota organisasi, yang dinilai sebagai kondisi yang membuat anggota organisasi menjadi lalai. Berprasangka negatif bahwa hubungan manusiawi antara anggota organisasi dalam belajar hanya dipergunakan untuk bercengkrama atau bergantung yang berakibat tugas terganggu atau terbengkalai.
- Tidak percaya pada anggota organisasi atau orang lain, karena prasangka pemberian kepercayaan cenderung akan disalah gunakan atau diselewengkan. Oleh karena itu cenderung tidak memberikan pelimpahan wewenang.
Kepemimpinan otokratis ini adalah kepemimpinan yang berdasarkan kekuasaan mutlak. Segala keputusan berada disatu tangan. Tipe kepemimpinan ini sering membuat pengikutnya tidak senang dan sering prustasi (Anoraga, 2001::8). Tipe kepemipinan otokratis ini juga sifatnya keras, diktatoris, mau menang sendiri, keras kepala, sombong dan bandel (Kartono, 2005:35).
Kepemimpinan otokratis memberikan perhatian yang maksimum terhadap tugas dan minimum terhadap hubungan kerja dengan suatu perilaku yang tidak sesuai. Menejer seperti ini tidak mempunyai kepercayaan terhadap orang lain, tidak menyenangkan , dan hanya tertarik pada jenis pekerjaan yang segera selesai (Thoha, 2006:58).
Dari beberapa pendapat para ahli dapat penulis simpulkan bahwa tipe kepemimpinan otokratis atau otokratik itu adalah tipe kepemimpinan yang tidak peduli pada bawahan, yang menginginkan kepentingannya sendiri, tidak mau dikritik, suka memaksa terhadap bawahan dan meganggap dirinya paling benar.
2. Kepemimpinan Leizess-faire
Kepemimpinan yang semuanya bergantung pada bawahan (Burhanuddin, 2002:138). Tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan pimpinan. Tipe ini diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggotanya pembagian tugas dan kerjasama diserahkan kepada anggota-anggota kelompok, tanpa petunjuk atau saran-saran dari pimpinan kekuasaan dan tanggung jawab bersimpang siur, berserakan diantara anggota-anggota kelompok tidak merata. Dengan demikian mudah terjadi kekacauan dan bentrokan-bentrokan. Tingkat keberhasilan organisasi atau lembaga yang dipimpin dengan gaya Leizess-faire semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompok dan bukan pengaruh dari pimpinannya (Purwanto, 2005:49).
Tipe kepemimpinan ini pada dasarnya berpandangan bahwa anggota organisasinya mampu mandiri dalam membuat keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing dengan sedikit mungkin pengarahan atau pemberian petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-masing sebagai bagian dari tugas pokok organisasi. Kontak yang terjadi antara pemimpin dan anggota kelompoknya terjadi apabila pemimpin memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan (Nawawi, 2003:147) .
Pemimpin memberikan sedikit dukungan untuk melakukan usaha secara keseluruhan. Kebebasan anggota kadang-kadang dibatasi oleh pemimpin dengan menetapkan tujuan yang harus dicapai disertai parameternya. Sedangkan yang paling ekstrim dalam tipe ini adalah pemberian kebebasan sepenuhnya pada anggota organisasi untuk bertindak tanpa pengarahan dan kontrol kecuali jika diminta. Dampaknya sering terjadi kekacauan karena tipe kepemimpinan ini membiarkan setiap anggota organisasi yang berbeda kepentingan dan kemampuannya untuk bertindak kearah yang berbeda-beda. Pemimpin hanya menyediakan diri sebagai penasehat apabila diperlukan atau diminta (Nawawi, 2003:148).
Dalam kepemimpinan ini Winardi (2006:64) mengatakan, seorang pemimpin memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada para pengikutnya dalam hal menentukan aktifitas mereka. Ia tidak berpartisipasi atau hal itu dilakukanya maka partisipasi tersebut hampir tidak berarti pendekatan ini merupakan kebalikan langsung dari teori kepemimpinan otokratis. Kita dapat berbicara tentang nonpartisipasi sama sekali dari pihak pimpinan. Kelompok Leizess-faire cenderung membentuk pemimpin informal.
Kepemimpinan Leizess-faire disebut kepemimpinan bebas yang berarti bahwa seorang pemimpin sebagai penonton bersifat pasif (Anoraga, 2001:8).
Dari beberapa definisi dapat penulis simpulkan bahwa tipe kepemimpinan Leizess-faire adalah tipe kepemimpinan yang antara pemimpin dan bawahan tidak ada saling kepedulian, dalam arti pemimpin tidak memperhatikan bawahan sebaliknya bawahan tidak mau tahu tentang pemimpin sehingga kepemimpinan Leizess-faire bisa dikatakan kepemimpinan yang kosong atau tidak ada pemimpin, serta bisa dikatakan sebagai kebalikan dari kepemimpinan otokratis.
3. Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang mana terjadi kerjasama antara pemimpin dan bawahan (Burhanuddin, 2002:138). Dalam kepemimpinan demokratis ini kepemimpinan berdasarkan pada demokrasi dalam arti bukan dipilihnya si pemimpin itu secara demokratis, melainkan cara yang dilaksanakan si pemimpin yang demokratis. Si pemimpin melaksanakan kegiatan sedemikian rupa sehingga setiap keputusan merupakan hasil muusyawarah (Anoraga, 2001:8).
Martoyo mengatakan tipe kepemimpinan demokratis yaitu tipe kepemimpinan yang mana pemimpin menitikberatkan kepada partisipasi kelompok dengan memanfaatkan pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat kelompok. Inisiatif dari kelompok sangat dianjurkan oleh pimpinan dari tipe ini. Kegagalan kepemimpinan dari pemimpin tipe ini adalah apabila anggota kelompok tidak cakap dan kurang tergerak untuk bekerja sama (Martoyo, 2001:185).
Kepemimpinan demokratis yaitu tipe kepemimpinan yang mana pemimpin menafsirkan kepemimpinnya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin ditengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota-anggota kelompok bukan sebagai majikan terhadap buruhnya, melainkan sebagai saudara tua diantara teman-teman sekerjanya atau sebagai kakak terhadap saudara-saudaranya. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar bekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama dalam tindakan dan usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya. Dalam melaksanakan tugasnya ia mau menerima bahkan mengharapkan pendapat dan saran-saran dari kelompoknya, juga kritik-kritik yang membangun dari para anggota diterimanya sebagai umpan balik dan dijadikan bahan pertimbangan dalam tindakan-tindakan berikutnya (Purwanto, 2005:50).
Kepemimpinan demokratis menempatkan manusia sebagai faktor terpenting dalam kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan orientasi pada hubungan anggota organisasi. Filsafat demokaratis yang mendasari pandangan tipe kepemimpinan ini adalah pengakuan dan penerimaan bahwa manusia merupakan mahluk yang memiliki harkat dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama. Dengan filsafat demokratis tersebut diimplementasikan nilai-nilai demokratis di dalam tipe kepemimpinan yang terdiri dari:
- Mengakui dan menghargai manusia sebagai mahluk individual, yang memiliki perbedaan kemampuan antara yang satu dengan yang lain, tidak terkecuali diantara para anggota dilingkungan sebuah organisasi.
- Memberikan hak dan kesempatan yang sama pada setiap individu sebagai mahluk sosial dalam mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri melalui prestasi masing-masing di lingkungan organisasinya sebagai sebuah masyarakat kecil.
- Memberikan hak dan kesempatan yang sama pada setiap individu untuk mengembangkan kemampuannya yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, dengan menghormati nilai-nilai atau norma-norma yang mengaturnya sebagai mahluk normatif di lingkungan organisasinya masing-masing.
- Menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan bersama dalam kebersamaan melalui kerja sama yang saling mengakui, menghargai, menghormati kelebihan dan kekurangan setiap individu sebagai anggota organisasi.
- Memberikan perlakuan yang sama pada setiap individu sebagai anggota organisasi untuk maju dan mengembangkan diri dalam persaingan yang fair dan sehat (jujur dan sportif)
- Memikulkan kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam menggunakan hak masing-masing untuk mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis.
Nilai-nilai demokratis di atas dalam kepemimpinan tampak dari kebijakan pemimpin yang orientasinya pada hubungan manusiawi, berupa perlakuan yang sama dan tidak membeda-bedakan anggota organisasi atas dasar warna kulit, ras, kebangsaan, agama, status sosial ekonomi dan lain-lain (Nawawi, 2003:134).
Dari pendapat para ahli dapat penulis simpulkan bahwa tipe kepemimpinan demokratis adalah tipe kepemimpinan yang menjadikan seorang pemimpin yang dihargai dan dihormati bawahan, seorang bawahan tidak dicurigai pemimpin. Jadi, adanya saling keterbukaan yang akhirnya akan menjadikan suksesnya suatu organisasi.
1 komentar:
kak terimaksih salangat lah
Post a Comment