Pemikiran Gusdur: Kekuasaan dan Ekonomi Politik Indonesia


Kekuasaan dan Ekonomi Politik Indonesia

 
Oleh: Abdurrahman Wahid*
Sejak Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 kita sudah berada dalam alam kemerdekaan. Tapi kemerdekaan yang dicapai baru hanya di bidang politik. Hal itu terlihat pada kekuasaan negara yang berhasil kita pegang. Bung Karno dengan Pancasilanya berhasil merebut kekuasaan pemerintahan. Ia dan kawan-kawannya, seperti Bung Hatta, Mr. Sartono, dr. Radjiman, dr. Tjipto Mangunkusumo dan seterusnya, pada umumnya adalah para bangsawan dari berbagai tingkatan yang berhasil merebut kekuasaan negara dari tangan penjajah.
Jika pada saat itu ada tokoh politik yang mengajukan gagasan kredit murah untuk kepentingan usaha kecil dan menengah, tentu pembawa usul itu akan ditertawakan orang. Dalam pikiran mereka, dunia ekonomi hanya akan mengalami kemajuan jika dikuasai oleh teman-teman mereka sendiri, para pengusaha dari ‘kalangan atas’. Inilah yang mereka anggap sebagai ‘kekuatan ekonomi nasional’. Mungkin dalam lingkup ini termasuk ayah penulis sendiri, yaitu dari kalangan petani bertanah (land owners).
Kenyataan ini berjalan terus sampai demokrasi terpimpin digantikan oleh Orde Baru yang dibawa oleh Mayor Jendral TNI Soeharto. Secara efektif Orde Baru meneruskan orientasi pembangunan nasional yang hanya mementingkan kalangan atas saja. Demikian pula dengan a pa yang dinamakan masa Reformasi pada tahun 1998, yang dianggap membawa perubahan cukup besar. Namun tetap saja orientasi pembangunan kita, yang masih ditentukan oleh kepentingan ‘kalangan atas’, itu baru mengacu pada pertumbuhan (growth). Pembangunan ekonomi kita lalu menuju kepada penjualan barang (ekspor) secara besar-besaran. Karena itulah pemerintah memberikan kompensasi dalam bentuk impor barang secara besar-besaran pula. Dengan demikian, jumlah barang yang diimpor harus dibiaya oleh kredit luar negeri yang besar pula sehingga hutang nasional kita terus menerus ditambah. Ini membuat ketergantungan kita kepada negara-negara lain membengkak.
Orde Baru digantikan oleh apa yang dinamakan Orde Reformasi, yang segera saja direbut oleh para teknokrat. Sebenarnya, mereka tidak lain adalah kaum profesional yang menganut faham pertumbuhan ekonomi di atas. Tercapailah pertumbuhan besar-besaran bagi negeri kita, yang tidak berumur lama. Segera saja perekonomian nasional kita dihadapkan kepada krisis berkepanjangan yang belum selesai hingga saat ini. Salah satu penyebabnya, karena tidak ada perubahan berarti dalam pandangan para pimpinan parpol dalam pembangunan nasional dan kepemimpinan negara . Tidak ada seorangpun yang berpikir tentang bagaimana menyelesaikan krisis eknomi yang berkepanjangan itu, dengan segenap konsekuensinya. Padahal, kita harus mempunyai arah yang jelas dalam orientasi pembangunan kita. Kenyataan memaksa kita untuk mengikutnya sampai jarak tertentu.
Juga sulit untuk memperhitungkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh globalisasi ekonomi dunia, yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Walaupun prinsip pembangunan ekonomi nasional kita, mengharuskan adanya kemerdekaan kebebasan berniaga dalam bentuk persaingan bebas (free competition). Karena itu, kita harus memberikan kemerdekaan untuk bersaing secara bebas bagi perusahaan-perusahaan asing di negeri kita. Tetapi, disamping itu harus diingat bahwa sisi lain dari dunia usaha kita justru menginginkan adanya perlindungan pemerintah atas usaha kecil dan menengah. Tentu saja, hal itu terkait dengan pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan perlu diberikan perhatian khusus untuk pemenuhan kebutuhan pokok dari rakyat.
Hal ini pernah dialami Andrew Jackson, yang menjadi Presiden AS pada tahun-tahun 1830-an. Dalam kebijakan Jackson, UUD A.S menetapkan bahwa RAPBN (budget) mengharuskan seorang presiden untuk membiayai pendidikan, kerja-kerja sosial, kesehatan dan hal-hal sejenis untuk rakyat. Oleh sebab itulah, dia mengangkat seorang gubernur bagi American Federal Reserve System (yang di negeri kita dikenal dengan nama Bank Sentral alias Bank Indonesia). Dengan pengangkatan itu, Jackson tidak menyalahi liberalisme ekonomi yang mengharuskan adanya persaingan bebas dalam pengaturan ekonomi. Pelajaran inilah yang sangat penting untuk kita perhatikan dengan serius.
Namun dalam menyelenggarakan perekonomian nasional ini, di samping perlunya kemakmuran negara kita sendiri, kita juga harus maju bersama dengan negara-negara dunia berkembang (developing countries) lainnya. Sewaktu menjabat sebagai presiden, penulis didatangi utusan Presiden Bill Clinton, yaitu Winston Lord, Pembantu Menlu AS urusan Asia dan Pacific . Ia bertanya kepada penulis adakah kerjasama ekonomi yang diusulkan dengan membentuk Poros Indonesia- Republik Rakyat Tiongkok dan India, dimaksudkan untuk mengeliminir Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi? Penulis menjawab tidak, melainkan untuk mengembangkan kemampuan ketiga negeri tersebut untuk bersaing dengan A.S. Dua hari kemudian Gedung Putih mengeluarkan pernyataan, bahwa A.S mendukung gagasan kerja sama ekonomi itu.
Jadi agar segala sesuatu menjadi terbuka bagi semua pihak, perlu ada kejelasan dari kita sendiri. Jelaslah, dari apa yang disebutkan di atas bahwa dalam pemikiran penulis, hubungan antara ekonomi politik dan kekuasaan sangatlah besar. Nah, kesalahan kita selama ini adalah tidak jelasnya orientasi pembangunan ekonomi nasional kita sendiri. Seharusnya, kita juga menggunakan orientasi kehidupan yang dibawakan oleh agama, yaitu pentingnya akhlak mulia dan keadilan dalam kehidupan kita. Masalah yang sederhana tetapi juga sangat rumit, bukan?
Jakarta, 4 Oktober 2007




0 komentar:

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic
Powered by Blogger.

Blog Archive

Followers

OUR FACEBOOK

Sponsor Blog

Site Info

Copyright © 2012 Makalah Dunia ModernTemplate by :Urangkurai.Powered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.