Tentang Pemikiran Marx Muda dan Marx Tua


DARI REFLEKSI KE REVOLUSI:

Tentang Pemikiran Marx Muda dan Marx Tua


            Istilah “muda” dan “tua” dalam sejarah perkembangan pemikiran Marx merujuk pada orientasi dan fokus perhatian filsuf ini. Ada komentator yang berpendapat bahwa istilah ini memperlihatkan adanya “patahan” dalam pemikiran Marx, sementara komentator lain, misalnya para filsuf Mazhab Frankfurt, mengatakan bahwa pemikiran Marx tua merupakan upaya untuk mengkonkretkan pada level sosio-historis gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh Marx muda; jadi pemikiran filsuf ini tetap merupakan sebuah kontinuitas. Kritik ekonomi politik yang menjadi tema utama Das Kapital adalah usaha Marx untuk mengeksplisitkan kritik terhadap keterasingan (Entfremdung) dan reifikasi (Verdinglichung) yang merupakan tema sentral pemikiran Marx muda, tulis Iring Fetscher.[1]
Dengan memperhatikan tulisan-tulisan Marx sendiri, kita bisa menyimpulkan bahwa bila pemikiran Marx muda didominasi oleh interpretasi sejarah yang bersifat profetis (die prophetische Geschichtsinterpretation), dengan sikap seorang idealis dan utopis, maka Marx tua didominasi oleh hukum-hukum ekonomi yang  bersifat niscaya (determinisme ekonomi).[2] Yang dimaksud dengan sikap idealis dan utopis di sini adalah sikap yang membayangkan sebuah masyarakat di mana tidak ada lagi penderitaan dan penindasan manusia oleh manusia lain. Saat itu Marx memang belum menemukan metode tentang cara untuk mewujudkan masyarakat yang dibayangkan itu. Ketika ia telah berhasil menemukan hukum-hukum obyektif perkembangan sejarah, ia mengatakan sosialismenya sebagai sosialisme ilmiah, sementara kaum sosialis Prancis yang juga mencita-citakan masyarakat serupa disebut sebagai sosialisme utopis.
Franz von Magnis dalam bukunya  Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848) (Pengandaian-pengandaian Normatif dalam Pemikiran Marx Muda [1843-1848]) mengatakan bahwa Marx muda itu bersifat filosofis, humanis, dan etis, sementara Marx tua bersifat ekonomis. Bila pada waktunya mudanya Marx masih bersifat reflektif-filosofis dengan merenungkan hakikat sosial manusia konkret, pandangan sejarah materialis (die materialistischen Geschichtsauffassung), makna pekerjaan, keterasingan  dan lain-lain, maka pada waktu tuanya Marx sepenuhnya mencurahkan waktunya untuk menganalisi hukum-hukum ekonomi kapitalis. Di sini Marx berupaya membuktikan secara teoritis apa yang dipikirkannya secara filosofis pada masa mudanya, yakni keniscayaan keruntuhan kapitalisme berdasarkan kontradiksi-kontradiksi internal di dalam sistem tersebut. Karena itu pemikiran Marx muda juga kadang disebut sebagai “pra-ekonomis”.[3]

I. Hegel dan Feuerbach sebagai Titik-tolak

Sebagaimana telah disinggung dalam pertemuan sebelumnya, titik-tolak dialektis pemikiran Marx muda adalah filsafat Hegel dan Feuerbach. Dari Hegel, Marx mengambil gagasan mengenai filsafat pekerjaan, keterasingan (alienasi), metode dialektika serta gerak maju perkembangan sejarah. Sementara dari Feuerbach ia mengambil gagasan mengenai perlunya memberikan perhatian terhadap manusia konkret bila hendak berfilsafat mengenai manusia. Marx menolak adanya manusia abstrak, manusia an sich, manusia sebagaimana dipahami secara konseptual dalam filsafat. “Tapi manusia bukanlah makhluk abstrak, yang berada di luar dunia ….. Manusia adalah dunia manusia, negara, masyarakat. Tapi negara dan masyarakat ini memproduksi agama, yang merupakan kesadaran dunia yang terbalik karena negara dan masyarakat itu sendiri merupakan dunia yang terbalik,” tulisnya dalam Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie. Einleitung.[4] Dalam periode ini pula Marx mengatakan bahwa agama dan negara serta aparatusnya adalah tanda, dan bukan sebab!), keterasingan manusia, dan oleh karena itu, tidak ada gunanya mengkritik agama (sebagaimana dilakukan oleh Feuerbach) tanpa mengkritik struktur-struktur sosial yang membuat masyarakat mengasingkan diri ke dalam kerajaan angan-angan atau agama itu.
Konsepsi negara Hegel juga tak luput dari hantaman Marx. Hegel memang telah merumuskan Idea tentang negara rasional yang diatur oleh hukum, di mana kehendak individu identik dengan kehendak universal (semua warga negara). Dalam negara rasional demikian, kata Hegel, tidak ada lagi yang perlu dilakukan oleh warga negara kecuali menaati apa yang telah ditentukan oleh negara untuk dilakukannya (tapi harus diingat, dalam konsepsi Hegel, negara yang berhak menuntut ketaatan itu adalah negara rasional, bukan sembarang negara). Marx mengkritik gagasan Hegel ini dengan mengatakan bahwa persoalannya bukan bagaimana menciptakan negara yang demokratis, melainkan bagaimana menghapuskan negara. Tidak cukup agar negara dibuat demokratis karena negara sendiri adalah tanda keterasingan manusia.

II. Filsafat Pekerjaan Marx
            Pemikiran filosofis utama yang sangat terkenal dari Marx Muda adalah filsafat mengenai pekerjaan yang dituangkan dalam buku Pariser Manuskripten (Naskah-Naskah Paris) tahun 1844. Dalam buku ini — dengan mengambil alih gagasan Hegel mengenai pekerjaan sebagaimana terdapat dalam dialektika Tuan Budak dalam buku Fenomenologi Roh — Marx berbicara panjang lebar mengenai hakikat manusia, makna filosofis pekerjaan, pekerjaan yang mengalienasikan, sistem hak milik, masyarakat komunis dan lain-lain. Ia menulis: “Yang sangat penting dalam Fenomenologi Hegel dan ahsil akhirnya adalah … bahwa Hegel memahami pengembangan diri manusia sebagai sebuah proses, obyektifikasi sebagai kehilangan obyek, sebagai alienasi dan transendensi dari alienasi itu. Hegel memahami hakikat pekerjaan dan memahami manusia obyektif, yang otentik karena aktual, sebagai hasil pekerjaannya sendiri.”[5]
Marx mengatakan bahwa pekerjaan adalah kegiatan yang sangat khas manusiawi. Pekerjaanlah yang membedakan manusia dari hewan. Hewan tidak perlu bekerja karena ia dapat secara langsung memperoleh makanannya dari alam. Hewan memiliki organ-organ fisik yang fungsinya telah spesifik dan langsung sesuai (match) dengan alam. Organ-organ fisik manusia tidak match dengan alam, dan itu adalah kelemahan sekaligus kekuatan manusia. Organ fisik manusia lebih multifungsi dibandingkan dengan organ fisik hewan. Tangan manusia bisa digunakan untuk memegang, memukul, memanjat, menunjuk dan seterusnya. Hewan, kata Marx, sepenuhnya hidup di dalam alam, ia telah dideterminasi alam, sementara manusia di dalam sekaligus di luar alam. Dan oleh karena itulah manusia harus mampu mengubah lingkungannya agar sesuai dengan kebutuhannya, sementara hewan tidak. “Manusia mulai membedakan dirinya dari hewan pada saat ia mulai memproduksi kebutuhan hidupnya,” tulis Marx dalam Ideologi Jerman.[6]
            Ini membuat manusia menjadi makhluk yang bebas dan universal. Ia bebas karena manusia dapat melakukan sesuatu yang tidak secara langsung merupakan kebutuhannya. Ia bisa mengolah alam dan menyimpan hasilnya. Bila ia menemukan makanan, ia bisa saja lebih dulu merefleksikan makanan itu ketimbang langsung melahapnya, sekalipun ia lapar. Hewan tidak mampu berbuat demikian, hewan tidak mampu menarik jarak dari dunianya. Jadi manusia itu bebas dalam berhadapan dengan dunia. Dan inilah yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan untuk berkesenian, yakni melakukan sesuatu yang tidak secara langsung berfungsi praktis dalam hidupnya. “Manusia bukan hanya makhluk alami; ia adalah makhluk alami manusiawi,” tulis Marx dalam Pariser Manuskripten.[7]
            Pekerjaan tidak lain dari upaya manusia untuk membuat alam yang tidak secara langsung cocok dengan kebutuhannya itu menjadi cocok dengan kebutuhannya. Dalam pekerjaan manusia mengolah alam; hewan tidak pernah mengolah alam, ia hidup secara langsung dari alam. Di sinilah letak universalitas manusia, menurut Marx, yakni bahwa ia mampu mengubah alam untuk kebutuhannya. “Manusia adalah makhluk-spesies (Gattungswesen) bukan hanya karena ia secara praktis maupun teoritis membuat spesiesnya dan benda-benda lain menjadi obyeknya, tapi juga — dan ini hanyalah ungkapan lain dari hal yang sama — karena sebagai spesies yang hidup dan ada, ia menganggap dirinya sebagai makhluk universal dan dengan demikian bebas,” tulis Marx.[8]
Tapi pekerjaan bukan hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan. Marx mengatakan bahwa pekerjaan juga sarana untuk merealisasikan diri bagi manusia. Di sini kita perlu mengingat contoh dari Feuerbach mengenai pematung yang baru menyadari dirinya sebagai pematung setelah ia melihat secara obyektif patung hasil pekerjaannya, yang tidak lain dari hasil realisasi dirinya. Dan karena merupakan sarana untuk merealisasikan diri, maka secara normatif, pekerjaan seharusnya menimbulkan rasa gembira dan kebahagiaan. Kalau pekerjaan merupakan kesempatan di mana manusia bisa mengembangkan dirinya, membuat alam sesuai dengan kebutuhannya, dan kemudian melihat hasil pekerjaanya secara obyektif, ia seharusnya menemukan kepuasan dalam pekerjaan. Pekerjaan itu seharusnya membanggakan dan menggembirakan. (Dimensi positif pekerjaan inilah yang absen dalam pekerjaan manusia dalam sistem ekonomi kapitalisme).
            Selain itu, Marx juga melihat bahwa pekerjaan juga merupakan realisasi sifat kesosialan manusia. Marx yakin bahwa manusia adalah mahluk sosial. “Individu adalah makhluk sosial,” tulisnya.[9] (Tapi sosialitas ini telah hilang dalam sistem kapitalisme, dan inilah yang hendak dikembalikan dalam sistem sosialisme dan komunisme). Bagaimanakah pekerjaan memperlihatkan ciri sosial manusia? Tentu tidak ada manusia yang mampu memenuhi kebutuhannya sendirian. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan hasil kerja orang lain. Bahkan dalam masyarakat primitif pun, ciri sosialitas ini telah terlihat. “Melalui pekerjaan, manusia menjadi sebuah totalitas sosial,” tulis von Magnis.[10] Apa yang kita sebut sebagai pembagian kerja (termasuk dalam masyarakat primitif) adalah sistematisasi lebih lanjut atas sifat sosialitas manusia ini. Pekerjaan akan lebih efisien bila seseorang melakukan apa yang merupakan bakat atau keahliannya.

III. Pekerjaan yang Mengalienasikan
            Bagaimana pekerjaan yang seharusnya merupakan hakikat sosialitas manusia bisa menjadi sumber keterasingan bagi manusia, terutama dalam sistem kapitalisme? Keterasingan dari manakah yang dimaksud di sini? Marx membahas problematika keterasingan ini dengan panjang lebar dalam Naskah-Naskah Paris.
            Dalam sistem kapitalisme, keterasingan itu paling tidak terjadi dalam tiga segi, yakni keterasingan si pekerja dari produk yang dihasilkannya sendiri, keterasingan dari pekerjaan itu sendiri, dan keterasingan dari sesamanya manusia. Pertama, keterasingan terjadi karena pekerja atau buruh tidak memiliki hasil kerjanya sendiri dan oleh karena itu ia tidak dapat menganggapnya sebagai tanda realisasi dirinya. Produk pekerjaannya itu adalah milik pemilik modal, yang mempekerjakan si pekerja, dan kemudian menjual hasil pekerjaan tersebut. Kedua, aktivitas pekerjaan itu sendiri tidak lagi merupakan realisasi diri atau bakat-bakat si pekerja. Sebelumnya telah dikatakan bahwa kerja seharusnya menjadi sarana realisasi diri. Tapi dalam sistem kapitalisme, buruh tidak memilih pekerjaan sesuai dengan keinginannya, melainkan menerima pekerjaan yang ditawarkan kepadanya oleh pemilik modal. Ia mungkin tidak menyukai pekerjaan itu, tapi ia harus melakoninya agar ia bisa hidup. Ini menyebabkan kerja tidak lagi menjadi sarana realisasi diri. Pekerjaan itu menjadi tidak bermakna baginya. Ia melakukan itu karena terpaksa. Karena pekerjaan tidak lagi menjadi sarana realisasi diri, sementara si buruh harus melakoninya, maka dengan demikian si buruh menjadi terasing dari dirinya. Dirinya yang bekerja itu bukan lagi dirinya sendiri, melainkan dirinya yang terasing dan terpaksa bekerja. Inilah hakikat pekerjaan upahan dalam sistem kapitalisme, menurut Marx. Buruh bekerja demi upah, bukan demi perealisasian hakikatnya yang sosial.
            Marx menulis dalam Naskah-naskah Paris: “Adalah sebuah fakta bahwa pekerjaan itu eksternal terhadap pekerja — yakni, pekerjaan itu bukanlah bagian dari hakikatnya — dan bahwa pekerja tidak mengafirmasi dirinya sendiri dalam pekerjaannya, melainkan menyangkalnya, merasa menderita tidak bahagia, tidak mengembangkan energi fisik dan mentalnya, melainkan membekukan tubuhnya dan meruntuhkan pikirannya. Karena itu pekerja merasa senang hanya kalau tidak bekerja, dan selama bekerja ia berada di luar dirinya sendiri. Dia bahagia hanya kalau tidak bekerja dan ketika ia bekerja ia tidak bahagia. Karena itu, pekerjaannya itu tidak sukarela tapi terpaksa, pekerjaan yang terpaksa.”[11]
Ketiga, buruh juga terasing dari sesamanya manusia, dari sesama buruh dan dari majikan. Buruh melihat buruh lain bukan lagi sebagai sesama yang berhubungan secara sosial, melainkan sebagai saingan dalam memperoleh pekerjaan di pabrik-pabrik. Sementara itu, dalam berhadapan dengan buruh, majikan juga tidak melihatnya sebagai sesama manusia, melainkan sebagai komoditi yang diperjual-belikan di bursa kerja. Untuk memperoleh pekerjaan, buruh menjual tenaganya kepada majikan, artinya, buruh di sini bukan lagi sebagai manusia dalam berhadapan dengan majikan, melainkan sebagai komoditi atau faktor-faktor produksi. “Pekerjaan bukan hanya memproduksi komoditi. Ia juga memproduksi dirinya sendiri dan pekerja sebagai komoditi,” tulis Marx.[12] Jadi baik dari sesama buruh maupun dari majikan, buruh mengalami keterasingan.
“Pekerja berhubungan dengan produk pekerjaannya sebagai obyek yang asing. Jelaslah menurut premis ini: semakin pekerja menuaikan pekerjaannya, semakin berkuasalah dunia obyektif yang asing ciptaannya itu berhadapan dengan dirinya, semakin ia dan dunia batinnya miskin, semakin sedikit yang dimilikinya… Eksternalisasi pekerja dalam produknya bukan hanya berarti bahwa produk itu eksis di luar dirinya secara bebas, asing, kekuasaan yang otonom, dan beroposisi kepadanya. Kehidupan yang telah diberikannya kepada obyek itu sekarang menghadapinya sebagai musuh dan asing.”[13]

IV. Hak milik Pribadi, Uang dan Revolusi

            Perlu diperhatikan bahwa keterasingan yang dialami buruh di sini bersifat sistemik. Artinya, butuh menderita bukan karena majikannya kejam atau karena sesama buruh tidak saling mengasihi satu sama lain. Penderitaan itu terjadi karena tuntutan obyektif sistem kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme berdiri di atas prinsip persaingan: dengan modal sesedikit mungkin memperoleh laba sebesar mungkin. Sistem kompetisi inilah yang mengharuskan majikan untuk menekan gaji buruh hingga serendah mungkin sekaligus memaksa mereka agar bekerja lebih keras lagi, sehingga dengan demikian perusahaan bisa bersaing dengan perusahaan lain. Inilah yang menjadi sumber penderitaan. Karena itu yang dihadapi buruh di sini bukanlah masalah moral. Marx menolak segala jenis moralisme dalam membebaskan buruh dari ketertindasan tersebut. Yang perlu bukanlah khotbah moral terhadap majikan atau para buruh, misalnya, agar majikan lebih kasihan kepada buruh atau agar buruh lebih mengasihi satu sama lain, melainkan bagaimana menghapuskan struktur ekonomi kapitalisme yang bersifat ekploitatif dan tidak manusiawi itu.[14]
            Dengan kata lain, yang perlu adalah menghapuskan sistem yang memperbolehkan sistem hak milik pribadi. Bila sistem hak milik pribadi tidak ada lagi, dengan kata lain, bila semua alat-alat produksi dimiliki bersama, maka dengan sendirinya tidak ada lagi eksploitasi dan penindasan manusia atas manusia lain. Inilah yang diidealkan terjadi dalam masyarakat komunis. “Hak milik adalah produk, hasil, dan konsekuensi niscaya dari pekerjaan yang dieksternalisasikan, dari relasi eksternal pekerja kepada alam dan kepada dirinya sendiri.”[15]
            Hak milik dan uang, menurut Marx, adalah tanda-tanda keterasingan manusia dari dirinya sendiri dan dari sesama manusia. Alat-alat tukar membuat manusia tidak perlu berhubungan dengan sesamanya secara konkret, melainkan secara abstrak. Uang berfungsi untuk memediasi hubungan antar manusia, dan dengan demikian, hubungan itu bukan lagi hubungan antar manusia, melainkan jatuh menjadi sekadar hubungan antarkomoditi. “Esensi uang bukanlah terutama bahwa ia mengeksternalisasikan hak milik, melainkan aktivitas yang memediasi atau proses itu … menjadi teralienasi dan mengambil kualitas benda-benda material, yakni uang, eksternal kepada manusia. Proses mediasi antar manusia itu membuat pertukaran itu tidak bersifat sosial, tidak ada lagi proses manusiawi, tidak ada relasi manusiawi. Melainkan yang terjadi adalah relasi abstrak antara hak milik dan hak milik, dan relasi abstrak ini adalah nilai yang eksistensi aktualnya sebagai nilai terutama tampil dalam bentuk uang,” tulis Marx.[16]
            Tapi, sesuai dengan ajaran sosialisme ilmiah, bukankah sistem kapitalisme yang memperbolehkan hak milik pribadi itu merupakan hukum obyektif perjalanan sejarah? Bukankah kapitalisme sebuah tahap yang niscaya menuju tahap sosialisme dan komunisme? Benar. Karena itu, menurut Marx, penghapusan sistem hak milik pribadi sekaligus penjungkir-balikan kapitalisme itu tidak bisa dilakukan hanya dengan berdasarkan kehendak ideal belaka. Kondisi-kondisi obyektif yang memungkinkan penghancuran sistem itu harus juga tercipta. Kondisi yang dimaksud di sini adalah adanya kelas yang berkepentingan bukan untuk masuk menjadi bagian dari sistem kapitalisme itu, melainkan untuk menjungkirbalikkan sistem itu dan kelas borjuasi yang berkuasa. Dan kondisi itu tercipta bukan oleh sang buruh itu sendiri, melainkan oleh kapitalisme itu sendiri.
Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem yang mendestruksi dirinya sendiri, yakni dengan menciptakan kondisi-kondisi obyektif bagi kehancurannya sendiri. Kapitalisme memproduksi proletariat yang akan menghancurkan sistem kapitalisme itu sendiri. Sistem kompetisi dalam kapitalisme, sebagaimana diuraikan, di atas pada akhirnya akan menghasilkan semakin banyak buruh yang sedemikian menderita dan melarat, sementara jumlah borjuasi yang menguasai modal semakin sedikit karena banyak di antara mereka yang bangkrut karena kalah bersaing, sehingga pada saatnya kaum proletar bersatu, bergerak dalam sebuah gerakan yang disebut Revolusi Proletariat.

V. Pandangan Materalisme Historis
Pandangan materialisme historis mengatakan bahwa perubahan sejarah ditentukan oleh faktor-faktor material, yakni faktor-faktor produksi. Di atas kita telah melihat bagaimana gerak sejarah menuju masyarakat sosialis/komunis itu secara niscaya digerakkan oleh modus-modus produksi yang berlangsung dalam sistem feodalisme dan kapitalisme. Keruntuhan kapitalisme juga terjadi (dalam ramalan Marx yang ternyata tidak terbukti) karena kontradiksi dalam faktor-faktor produksi. Jadi, kata material di sini tidak sama dengan filsafat materialisme, yakni paham yang mengatakan bahwa yang ada itu hanya materi, roh tidak ada.

V.a. Basis - Bangunan Atas
Paham penting dalam konsepsi materialisme historis adalah distingsi antara basis (Basis) dan bangunan atas atau superstruktur (Ausdruck). Basis adalah segala yang menyangkut produksi, termasuk kegiatan ekonomi, hubungan-hubungan produksi, pola-pola produksi dan tenaga-tenaga produksi. Basis itu adalah faktor-faktor material. Sementara bangunan atas atau superstruktur adalah segala bentuk kesadaran, nilai-nilai, keyakinan, norma-norma, hukum, kepercayaan-kepercayaan, filsafat dan lain-lain. Inilah dua kategori dasar yang digunakan Marx untuk memahami fenomena masyarakat, yang masih tetap terdapat pada setiap gerakan yang bersifat Marxis hingga sekarang ini.[17]
Marx mengatakan basis itu menentukan superstruktur, tapi tidak sebaliknya. Hubungan basis dan superstruktur itu satu arah; superstruktur (Ausdruck) itu adalah ungkapan (Ausdruck) basis. Jadi bila dalam filsafat umumnya dipercaya bahwa kesadaran bersifat konstitutif dalam memahami dunia, Marx membalikkan prinsip tersebut, dengan mengatakan bahwa kondisi sosio-ekonomi-historis-lah yang menentukan kesadaran manusia. Dalam Ideologi Jerman ia dengan tegas menulis, “produksi ide, konsepsi-konsepsi, kesadaran secara langsung terjalin dengan aktivitas material dan relasi material antar manusia. Persepsi, pemikiran dan relasi intelektual manusia tampak di sini sebagai hasil langsung dari perilaku material mereka…. Moralitas, agama, metafisika, dan semua bagian lain dari ideologi dan bentuk-bentuk kesadaran yang berkorespondensi dengan itu tidak lagi terlihat independen. … Bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, melainkan kehidupanlah yang menentukan kesadaran,” tulis Marx.[18]
Gagasan serupa juga ditegaskan Marx dalam Tesis-tesis tentang Feuerbach. Ia menulis bahwa manusia tidak memiliki esensi yang dengan sendirinya telah diwarisi oleh setiap orang; esensi itu terbentuk dari jalinan relasi-relasi sosial (Tesis nomor 6). Perasaan keagamaan itu sendiri adalah produk dari bentuk-bentuk masyarakat tertentu, dan setiap individu termasuk ke dalam bentuk masyarakat tertentu (Tesis nomor 7). Pemahaman yang benar mengenai manusia, dengan demikian, mempersyaratkan bahwa manusia itu harus dilihat dalam situasi sosial-historis konkret.[19] Dari sini terlihat bahwa Marx yakin bahwa orang berpikir dan menganut nilai-nilai (superstruktur) tertentu sesuai dengan cara hidupnya (basis). Pemikiran mencerminkan apa yang dikerjakan manusia dan bagaimana ia hidup. Dalam arti inilah kita bisa memahami pernyataan Marx (yang dipinjam dari Feuerbach) bahwa agama adalah keluhan orang-orang tertindas, dan kemiskinan adalah ladang yang subur bagi kelahiran Allah.

V.b. Teori Kelas

Marx mengatakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme, berdasarkan kontradiksi-kontradiksi yang inheren pada dirinya sendiri, pada akhirnya secara niscaya akan mengerucutkan semua orang ke dalam dua kelas yang satu sama lain saling beroposisi, yakni kelas majikan atau borjuasi dan kelas buruh atau proletar. Proletar adalah kaum tertindas, sementara borjuasi kaum penindas, yang hidup dan menikmati segala kemewahan dari penindasan atas proletar. Masing-masing orang, demikian Marx, bertindak dan berpikir berdasarkan kepentingan kelasnya. Marx menolak bahwa sejarah ditentukan oleh keputusan-keputusan orang besar, seperti panglima atau raja-raja yang berkuasa. Sejarah tidak berlangsung melalui proses di mana seakan-akan tidak ada kepentingan yang memainkan peranan. Menurut Marx, para raja atau penguasa juga bertindak berdasarkan kepentingan obyektif kelas mereka. Individu tidak pernah bertindak sendirian, ia selalu membawakan kepentingan kelasnya. Kalimat pertama yang sangat terkenal dari Manifesto Komunis mengatakan, “Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas.”[20]
Pertentangan kedua kelas dalam sistem kapitalisme juga bersifat obyektif. Artinya, bukan karena secara personal sang proletar memusuhi sang borjuis makanya mereka bermusuhan, melainkan karena secara obyektif mereka termasuk ke dalam dua kelas yang saling bertentangan. Kelas borjuasi berkepentingan langsung untuk melanjutkan penghisapan atas kelas proletar, sementara kelas proletar berkepentingan langsung untuk menghancurkan kelas borjuasi karena itulah satu-satunya cara untuk membebaskan mereka dari penindasan. Itu berarti tidak mungkin perbaikan dicapai melalui kompromi atau reformasi atau perubahan sikap menjadi lebih manusiawi dari kelas borjuis. Pertentangan itu terjadi akibat kedudukan masing-masing kelas itu dalam sistem kapitalisme. Itulah yang dimaksud dengan sifat obyektif dari pertentangan tersebut. Karena itu satu-satunya cara untuk mengakhiri pertentangan tersebut adalah perjuangan kelas, atau lebih tepat lagi: revolusi kaum proletar, sehingga sistem yang menghasilkan pertentangan kelas itu, yakni kapitalisme, hancur.

VI. Pemikiran Marx Tua

Marx mulai memberikan perhatian terhadap soal-soal ekonomi praktis sejak ia Paris, namun baru setelah ia tinggal di London, Inggris, ia mulai sungguh-sungguh menyibukkan diri dengan masalah-masalah eknomi praktis, tentang pasar bebas kapitalisme. Di sini ia mulai merumuskan teori ekonominya sendiri, yang meramalkan bahwa secara niscaya kapitalisme akan runtuh. Tema-tema yang dibicarakan adalah:  teori nilai dan teori nilai tambah, teori akumulasi modal, teori konsentrasi perusahaan/modal, teori pemiskinan dan pemeratan industrial, teori krisis, ajaran mengenai perjuangan kelas proletar dan determinisme ekonomis.[21]
Barangkali pemahaman kita mengenai kritik Marx terhadap kapitalisme dan segala keburukannya niscaya akan lebih mendalam dan simpatik bila kita juga mengetahui kondisi-kondisi kaum buruh di pabrik-pabrik di Eropa pada saat itu. Dalam Das Kapital, Marx menguraikan secara deskriptif dengan contoh-contoh bagaimana kapitalisme pada saat itu sungguh-sungguh melakukan eksploitasi luar biasa dan sangat tidak manusiawi kepada kaum buruh, termasuk anak-anak. Tidak sedikit anak-anak yang mati karena kelaparan dan kecapaian karena dipaksa hampir 20 jam bekerja, nyaris tanpa istrahat. Anak-anak itu juga tidak pernah mengecap pendidikan. Bahkan ada anak berusia 13 tahun yang tidak pernah mendengar kata London, ibu kota negaranya sendiri, karena sepanjang hidupnya ia dipaksa bekerja di tambang-tambang batu bara. Sementara itu, para borjuasi yang menikmati hidup yang makmur dan enak di atas penderitaan anak-anak itu setiap hari minggu pergi ke gereja, rajin berdoa, dan percaya bahwa struktur dunia sedemikian sudah ditakdirkan Allah. Di sisi lain, polisi dan para pejabat pemerintahan/kerajaan justru, melalui pekerjaan mereka masing-masing, berusaha menjaga kelangsungan sistem yang sangat tidak manusiawi itu.
Beberapa teori ekonomi yang dirumuskan Marx pada periode ini adalah: teori tentang nilai lebih yang terdiri dari teori nilai pekerjaan, teori tentang nilai tenaga kerja, teori tentang nilai lebih dan teori tentang laba. Sementara itu, mengenai sistem perekonomian kapitalis, Marx juga merumuskan tiga teori, yakni teori tentang konsentrasi dan akumulasi modal, teori tentang kemelaratan dan teori tentang krisis ekonomi kapitalis. Bila pada teori pertama Marx menyingkapkan rahasia mengapa modal terakumulasi di tangan semakin sedikit borjuis (yang secara langsung memperbanyak jumlah proletariat), dalam teori kedua, Marx menyingkapkan rahasia yang memperlihatkan keniscayaan keruntuhan kapitalisme oleh Revolusi Proletariat.

VI.a. Teori nilai lebih dan laba
            Dari manakah laba yang diperoleh oleh kaum borjuasi itu? Bagaimana menjelaskan adanya laba kalau kaum buruh juga memperoleh upah dari pekerjaan yang dilakukannya untuk kaum borjuasi? Penjelasan tentang asal-usul laba ini bertolak dari teori mengenai nilai pekerjaan.
Yang dimaksud Marx dengan nilai pekerjaan adalah jumlah waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan komoditi tertentu dengan keterampilan dan kemajuan teknologi tertentu. Nilai tukar sebuah komoditi tergantung dari jumlah waktu kerja yang terdapat di dalamnya. Barang yang pembuatannya membutuhkan waktu tiga jam memiliki nilai tukar tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan barang yang waktu pembuatannya satu jam. Waktu kerja yang dimaksud di sini ditentukan oleh waktu kerja rata-rata secara sosial dan kemajuan teknologis yang dimiliki oleh masyarakat pada kurun waktu tertentu. Jadi nilai tukar ditentukan oleh waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah produk dengan kepandaian dan kemajuan teknologi tertentu.[22]
            Namun, penjelasan mengenai asal-usul laba juga harus memperhitungkan nilai tenaga kerja. Yang dimaksud dengan nilai tenaga kerja adalah jumlah yang harus dibayar sebagai pengganti tenaga yang telah dikeluarkan buruh untuk menghasilkan komoditi tertentu. Sang majikan membeli tenaga kerja buruh di pasar dan membayar tenaga itu sesuai dengan kebutuhan buruh. Misalnya, untuk dapat hidup dan bekerja secara normal, membiayai anak dan istrinya dan punya uang pensiun kelak, nilai tenaga kerja buruh adalah Rp. 1000. Jumlah itulah yang harus dibayar oleh sang majikan dengan imbalan sang buruh menjual tenaganya di pabrik sang majikan. Tapi karena buruh telah menjual tenaganya kepada majikan, majikan bisa menggunakan tenaga buruh itu untuk memproduksi barang yang nilai tukarnya lebih daripada yang dibayarkan sang majikan kepada buruh. Artinya, bisa saja setelah bekerja 5 jam dalam sehari, sang buruh telah menghasilkan komoditi dengan harga Rp. 1000 (sama dengan yang diterimanya dari majikan), dan dengan demikian ia sebenarnya bisa berhenti bekerja karena (melalui komoditi itu) ia telah mengembalikan kepada majikan jumlah uang yang diterimanya. Tapi karena tenaga buruh telah dibeli oleh majikan maka majikan bisa dapat terus menggunakan tenaga buruh itu hingga 5 jam lagi, misalnya. Nah, nilai yang diciptakan buruh melalui pekerjaan dalam lima jam kedua itu, yang telah melampaui jumlah yang diterimanya dari majikan, disebut oleh Marx nilai lebih. Nilai lebih dengan demikian adalah selisih antara nilai yang diproduksi dalam satu hari oleh sang buruh ( 2 x Rp. 1.000 = Rp. 2.000) dengan biaya hidup yang dibayarkan sang majikan kepadanya (yakni Rp. 1.000).
Nah, nilai lebih inilah yang menjadi laba sang majikan. Sesuai dengan contoh di atas, setiap hari majikan dengan sendirinya memperoleh laba Rp. 1.000 dari buruhnya. Tapi, kata Marx, laba itu sebenarnya adalah hasil pencurian, karena ketimbang membagikannya kepada buruh yang menghasilkan nilai-lebih itu, sang kapitalis justru mengantonginya sendiri. Dan di sini kita melihat “kejahatan” sang majikan, dan karena itu Marx mengatakan bahwa laba kapitalis itu adalah nilai lebih yang dicuri.

VI.b. Teori tentang Keruntuhan Sistem Kapitalisme
            Kapitalisme digerakkan oleh kompetisi. Untuk mampu berkompetisi dan agar perusahan tetap bertahan, kapitalisme juga menerapkan prinsip pengeluaran serendah mungkin dengan laba sebesar mungkin; prinsip ini masih berlaku sampai sekarang. Untuk itu, cara-cara produksi harus terus menerus diperbaiki, penghematan dilakukan, laba diusahakan agar tetap meningkat, teknologi baru diciptakan. Tapi tidak setiap perusahaan mampu bertahan dalam kompetisi demikian. Ini mengakibatkan banyak perusahaan yang  ambruk karena tidak mampu bersaing, dan kemudian diambil alih oleh perusahaan yang lebih besar. “Pengambil-alihan ini berlangsung melalui tindakan hukum imanen kapitalis itu sendiri, melalui sentralisasi kapital,” tulis Marx dalam Das Kapital.[23] Akibatnya adalah kapital semakin menumpuk di tangan beberapa orang borjuis, dan sejalan dengan itu, jumlah proletariat juga semakin banyak (yakni para buruh dari perusahaan yang telah bangkrut ditambah majikan pemilik perusahaan itu).
Kondisi ini menyebabkan kompetisi di antara para buruh untuk memperoleh pekerjaan di pabrik-pabrik menjadi semakin panas dan sengit. Kemelaratan yang meluas tidak terhindarkan, dan itu berarti daya beli merosot. Akibatnya adalah hasil produksi melampaui daya tampung pasar. Komoditi akhirnya menumpuk di gudang. Terjadilah over-produksi. Untuk sementara perusahaan-perusahaan besar mungkin masih bisa bertahan dengan berbagai cara, misalnya, memperluas jenis produksi dan mengusahakan perluasan pasar-pasar baru hingga ke luar negeri — Lenin kelak melanjutkan gagasan ini dengan teori imperialismenya. Tapi, dalam jangka waktu tertentu, pasar-pasar baru untuk melempar produksi juga akan habis. Krisis global tidak terhindarkan. Pada saat itulah kaum proletariat yang miskin dan tertindas akan bangkit untuk meruntuhkan sistem tersebut. Tujuan revolusi proletariat itu adalah penghapusan segala hak milik pribadi dan masyarakat kelas.[24]
Dalam Das Kapital, Marx menulis dengan pasti: “Bersamaan dengan pengurangan konstan jumlah sang kapitalis, yang mengambil alih dan memonopoli semua keuntungan dari proses transformasi ini, kemelaratan massal, penindasan, perbudakan, degradasi, dan eksploitasi meningkat; tapi bersamaan dengan itu, bertambah pula pemberontakan kelas pekerja, sebuah kelas yang jumlah mereka bertambah secara konstan, dan terlatih, bersatu dan terorganisasi melalui mekanisme proses produksi kapitalis tersebut…Lonceng kematian hak milik privat kapitalis terdengar. Sang pengambil alih diambil alih.”[25]


[1] Iring Fetscher, Karl Marx und der Marxismus. Von der Ökonomiekritik zur Weltanschauung, München. Piper, 1985, hal. 50.
[2] Willem Banning, Karl Marx. Leben, Lehre und Bedeutung, München: STV, 1966, hal. 114.
[3] Franz von Magnis, Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848), Freibung/München: Karl Alber, 1975, hal. 17, 32.
[4] Dalam Die Fruehschriften (Tulisan-Tulisan Awal) ed. Siegfried Landshut,  Stuttgart: Alfred Kroener, 1953, hal. 208. Selanjutnya disingkat Fruehschriften.
[5] Die Fruehschriften, hal. 269.
[6] Sie selbst fangen an, sich von den Tieren zu unterscheiden, sobald sie anfangen, ihre Lebensmittel zu produzieren,” dalam Die Fruehschriften, hal. 347.
[7] Die Fruehschriften, hal. 275.
[8] Die Fruehschriften, hal. 228.
[9] Die Fruehschriften, hal. 238.
[10] Franz von Magnis, Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848), Freibung/München: Karl Alber, 1975, hal. 92.
[11] Karl Marx, Selected Writings, ed. Lawrence H. Simon, Indianapolis, Camb.: Hackett Publishing Company, Inc., 1994. hal. 61-62.
[12] Karl Marx, Selected Writings, hal. 59.
[13] Karl Marx, Selected Writings, hal. 60.
[14] Franz von Magnis, Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848), Freibung/München: Karl Alber, 1975, hal. 243.
[15] Karl Marx, Selected Writings, hal. 66.
[16] Karl Marx, Selected Writings, hal. 41-42.
[17] Franz von Magnis, Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848), Freibung/München: Karl Alber, 1975, hal. 398.
[18] Fruhschriften, hal. 348-349.
[19] Fruhschriften, hal. 340-341.
[20] “Die Geschichte aller bisherigen Gesellschaft ist die Geschichte von Klassenkämpfen,” dalam Die Fruehschriften, hal. 525.
[21] William Banning, Karl Marx. Leben, Lehre und Bedeutung, München: STV, 1966, hal. 118-119.
[22] Nilai tukar harus dibedakan dari nilai pakai. Nilai pakai ditentukan oleh kegunaan komoditi tertentu untuk memenuhi kebutuhan tertentu; nilai pakai itu tergantung dari jumlah barang yang tersedia, dan bukan oleh waktu yang dibutuhkan untuk pembuatannya.
[23] Karl Marx, Das Kapital, Kritik der politischen Oekonomie, jilid I, Berlin: Dietz Verlag, 1965, hal. 790.
[24] Franz von Magnis, Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848), Freibung/München: Karl Alber, 1975, hal. 289.
[25] “Die Expropriateurs werden expropriiert,” dalam Das Kapital, hal. 790-791.




0 komentar:

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic
Powered by Blogger.

Blog Archive

Followers

OUR FACEBOOK

Sponsor Blog

Site Info

Copyright © 2012 Makalah Dunia ModernTemplate by :Urangkurai.Powered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.