Lagi-lagi Pelanggaran Konstitusi |
Oleh: Abdurrahman Wahid Pada 25 November 2007 sekitar jam 13 WIB, penulis mendapat telpon dari teman lama, Holland Taylor yang berada di Surabaya menemani Prof. Nasr Hamid Abu Zayd. Guru Besar Universitas Leiden Belanda itu diundang oleh Departemen Agama untuk menyampaikan pikiran-pikirannya tentang Islam di sebuah seminar di Sebuah kelompok di Riau menggunakan nama Prof. Abu Zayd untuk ‘membohongi’ publik dengan menyatakan ia sudah setuju pergi ke Riau. Padahal dalam catatan pribadinya, Abu Zayd sama sekali belum dihubungi dan tidak akan pergi ke tempat itu. Namun ia mendapat reaksi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau, dan ‘kehadirannya’ di Peristiwa seperti itu pernah terjadi sebelumnya itu di beberapa tempat. Lagi-lagi penulis artikel ini mengemukakan permintaan agar MUI jangan menggunakan kata tersesat, serta tidak usah bersikap main hakim sendiri. Ormas tersebut ternyata melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar kita, yang menjamin kemerdekaan berpikir dan kebebasan berpendapat. Sayangnya, para pemimpin kita menerima pendapat MUI itu. Seperti, Susilo Bambang Yudhoyono yang bersikap mendua. Ia seharusnya membela dan mempertahankan konstitusi, ternyata tidak memiliki keberanian untuk mempertahankannya dari serangan-serangan sebuah ormas seperti MUI. Dengan demikian, sebuah prinsip fundamental seperti kebebasan berpikir dan kemerdekaan berbicara, menjadi korban dari kegalakan suatu pihak di negara ini. Bahkan, sikap itu menunjukkan pelanggaran demikian besar atas UUD yang kita miliki saat ini. Ini sama besarnya dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru selama lebih dari tigapuluh tahun lamanya. Padahal kita masih bersusah payah berusaha mengatasi akibat-akibat negatif dari tindakan tersebut. Karenanya, tidak lain kita terpaksa bersuara dan menunjukkan sikap kita yang jelas atas pelanggaran demi pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar itu. Sebenarnya penulis artikel ini sedang tidak bergairah melakukan hal itu, mengingat begitu banyak yang sudah dilakukannya untuk membela konstitusi. Tetapi ia ‘terpaksa’ melakukannya karena tampaknya seperti seorang diri saja melakukannya. Padahal, ia yakin mayoritas bangsa ini tidak senang dengan ‘kesewenang-wenangan’ ormas tersebut. Karenanya, MUI seharusnya menyadari hal ini bahwa ia serupa saja dengan ormas-ormas Islam yang lain seperti Muhammadiyah dan Nahdaltul Ulama (NU). Karena itu menjadi sangat mengherankan, bila Susilo Bambang Yudhoyono mengangkatnya begitu tinggi dan bersikap tidak netral terhadapnya. Akibat ‘salah langkah’ SBY tersebut, maka keberanian orang untuk melanggar Undang-Undang Dasar itu semakin besar. Diambillah tindakan pelanggaran atas konstitusi itu, dengan mengorbankannya atas nama menjaga konstitusi itu sendiri. Kalau hal ini dibiarkan terus terjadi tanpa koreksi, maka situasi sangat berbahaya untuk kelangsungan salah satu prinsip demokrasi yang menjamin kemerdekaan berpikir dan kebebasan berbicara itu. Demikian besar arti kekuasaan di tangan seorang penguasa di negeri ini, sehingga ‘harus’ dicapai dengan segenap cara dan dalih? Memang, ada saja orang yang berpikir bahwa penulis artikel ini punya kecenderungan mencari-cari persoalan, tetapi ia sebenarnya ingin orang lain yang melakukan hal itu. Sudah waktunya ia yang berusia enam puluh tujuh tahun ‘beristirahat’. Tetapi, dalam kenyataan ia masih harus melakukan tugas membela konstitusi itu, setelah lebih dari empat puluh tahun berjuang untuk itu. Memang sangat sedikit adanya para pemimpin parpol yang bersikap demikian. Pada umumnya mereka hanya berpikir bagaimana mempertahankan kekuasaan yang sudah dimiliki. Bahkan akhir-akhir ini muncul sejumlah pernyataan, agar angkatan muda ‘diberi’ tempat guna menggantikan para pemimpin politik yang sudah berumur. Sebenarnya permintaan tersebut justru melanggar salah satu prinsip dasar dalam sebuah demokrasi. Ronald Reagan mulai berkiprah untuk menjadi Presiden pada usia di atas 70 tahun. Kepemimpinan politik hanya diraih oleh siapa yang sanggup merebutnya, bukan oleh usia. Apa yang dikemukakan di atas, lagi-lagi mencerminkan persaingan tidak sehat yang sekarang sedang terjadi dalam dunia kepemimpinan politik kita. Apakah yang sedang terjadi dalam dunia perpolitikan kita sebagai bangsa? Mengapakah kekuasaan menjadi demikian penting, sehingga terjadi pelanggaran konstitusi kita yang menjamin kemerdekaan berpikir dan kebebasan menyatakan pendapat? Kini, seolah-olah kita bukan lagi bangsa yang dapat menjaga kemerdekaan berpikir dan kebebasan berpendapat. Karena itu, kita harus berani “ melawan” kecenderungan salah di atas dan merusak warisan yang ditinggalkan para pendiri negara ini, bukan? |
0 komentar:
Post a Comment