Kekuasaan dan Hukum   |   
 Oleh: Abdurrahman WahidSusilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa waktu yang lalu, seperti memberi sinyal bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki wewenang untuk membubarkan Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kalau pendapat ini dikemukakan orang lain, tidak ada masalah sama sekali. Tetapi ia dinyatakan oleh SBY dalam kapasitas pemimpin formal negeri ini. Padahal ia sebenarnya seharusnya sudah tahu bahwa wewenang itu harus berada di tangan Mahkamah Agung (MA). Katakanlah keputusan MUI tentang JAI itu, yang sudah diambil sejak lama, memiliki nilai ‘kebenaran’ dan karenanya harus dilaksanakan. Tapi toh yang terjadi hanyalah ‘kebenaran’ dalam pendapat keagamaan bukan pendapat kenegaraan. Dalam hal ini, jika kita benar-benar konsekuen dengan Undang-Undang Dasar (UUD), fatwa MUI itu bukanlah pendapat negara . Jika ada yang menyatakan, bahwa MA   menganggap tidak perlu memberikan fatwa dalam hal ini, maka tulisan ini   hendaklah dianggap sebagai permintaan fatwa tersebut. Karena MA memiliki   wewenang untuk intervensi/campur tangan dalam hal kenegaraan apapun, yang   menyangkut UUD. Tanpa memiliki keberanian moral untuk berpegang pada   kenyataan ini, berarti MA mengingkari kehadirannya sendiri, sesuatu yang   sebenarnya menyimpang dari perjalanan bangsa ini ke arah demokrasi   konstitusional. Kalau kita sudah tidak mempunyai anggapan seperti ini, itulah   sebenarnya yang menjadi persoalan. Karena keseluruhan bangunan negara kita   didasarkan pada asumsi dasar, bahwa kekuasaan negara pada tingkat nasional   memiliki tiga unsur utama: pelaksana (eksekutif), pembuat aturan   (legislatif), dan penjaga (yudikatif).  Kalau ‘pembagian kekuasaan’ seperti itu   dalam kehidupan bernegara tidak diperhatikan, maka alasan berdirinya bangsa   ini (raison d’etre du nation) berhenti beroperasi dalam kehidupan   kita. Berarti kita harus merumuskan kembali dasar-dasar negara kita.   Pancasila yang sudah dirongrong begitu rupa, sekarang justru dirongrong dari   dalam sendiri. Kalau memang demikian, apa yang diinginkan ‘orang luar’ yaitu   pisahnya  Dalam pertemuan syukuran untuk menghormati   kesembuhan penulis pada tanggal 27 Juli 2005 yang lalu, oleh teman-teman,   penulis diminta untuk memimpin sebuah paguyuban yang bertugas untuk mencari   ‘penyelesaian’ atas berbagai hal yang dihadapi bangsa ini. Akibat dari   langkanya kepemimpinan yang meliputi seluruh bangsa, dari yang bersifat moral   hingga yang bersifat hukum. Kelangkaan itu dikemukakan sebagai penyebab dari   amburadulnya kehidupan bangsa. Dari beberapa jam mengeluarkan pendapat, para   hadirin dalam ‘sidang’ syukuran itu menyatakan perlunya kita kembali   ‘meluruskan’ konsep-konsep kepemimpinan yang kita gunakan dewasa ini. Bahkan   ada yang bersikap sangat jauh dan sangat ekstrim, dengan menganggap   seolah-olah kita tidak memiliki kepemimpinan sama sekali untuk membawa bangsa   ini ke arah yang kita cita-citakan.Yang ada hanyalah kepemimpinan negara,   tanpa memiliki arah nasional berupa kehidupan bangsa yang kita dambakan.  Kalau bangsa  “Kenyataan historis” seperti inilah yang   sudah banyak dilupakan orang. Nah, dalam hal ini kita perlu melihat kembali   apa yang menjadi dasar dari pendapat seperti itu. Ternyata, hal itu dapat   diketemukan dalam pemisahan yang tegas antara kekuasaan dari hukum. Bahwa,   negara kita tidak berdasarkan pada kekuasaan, melainkan sebuah negara hukum   yang bersandar kepada sebuah Undang-Undang Dasar, yang lengkap dengan   pembukaan dan penjelasannya. Karenanya, yang berhak menentukan pelanggaran   terhadap UUD hanyalah satu pihak saja, yaitu MA, lainnya tidak memiliki   kompetensi dan wewenang sama sekali. Segala macam pendapat dan analisa, dapat   disampaikan kepada lembaga itu, tetapi MA adalah satu-satunya pihak yang   dapat melakukan hal itu. Inilah yang harus senantiasa diingat oleh semua   pihak, tanpa kecuali.  Sayangnya MA sendiri tidak begitu aktif   membela hak tersebut. Bahkan ada tanda-tanda MA “melalaikan kewajiban” dalam   hal ini. Seperti saat Kapolri Da’i Bachtiar di bawah pemerintahan Megawati   Soekarnoputri menyatakan, para mahasiswa yang melakukan demo dihadapan rumah   Megawati Soekarnoputri di jalan Teuku Umar melakukan pelanggaran terhadap   ketertiban umum. Penulis segera mengeluarkan reaksi yang tidak dimuat sama   sekali oleh pers nasional kita. Penulis bertanya siapakah yang seharusnya   berhak mengeluarkan pendapat hukum dalam hal ini? MA atau Polri? menurut   pendapat penulis, hanya MA yang memiliki wewenang hukum yang “harus diikuti”   dalam hal ini. Polri hanya berwewenang melaksanakan saja keputusan MA,   seperti halnya dengan MUI, pemimpin negara dan lain-lain. Kita tidak   menginginkan MUI menjadi badan kenegaraan dan Menteri Agama berfungsi hukum   untuk menggantikan MA.  Kalau kita ingin merubah hal ini, hendaknya   diadakan forum konvensi untuk itu. Tindakan apapun, yang diambil secara   sepihak, tentu saja bersifat “gelap” dan tidak memiliki dasar hukum. Hal yang   sangat menyedihkan ini dapat terjadi dalam kehidupan kita, jika kita tidak   berhati-hati. Kemalasan kita sebagai bangsa, akan berbuntut sangat panjang   bagi sejarah kita. Tentu saja tidak ingin demikian.  Apa yang diuraikan diatas adalah sebuah   penalaran yang bersifat umum dalam kehidupan bangsa kita. Ini adalah pendapat   pribadi yang hanya lebih tepat dibantah, daripada dianggap sebagai   “kejahatan” terhadap Islam. Karenanya pendapat itu tidak perlu ditanggapi   secara emosional, melainkan harus dengan cara rasional. Lagi pula yang kita   persoalkan bukanlah ajaran Islam, melainkan bagaimana sebuah ajaran agama   harus diterapkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Ini adalah bagian dari   proses melestarikan dan membuang sesuatu dalam kehidupan sejarah kita sebagai   bangsa, bukan?   |   




0 komentar:
Post a Comment