Pemikiran Gusdur: Semangat Kebangsaan Dan Pluralitas


Semangat Kebangsaan Dan Pluralitas


thinker big12.jpgOleh: Abdurrahman Wahid
Pagi itu, penulis sudah terlentang di tempat tidur sejak jam 3 dini hari. Karena sudah tidur sejak jam 10 malam, maka penulis pun terbangun di waktu dini hari itu. Jam setengah lima pagi, penulis mendengar suara adzan subuh dari tengah-tengah kompleks Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Sayup-sayup terdengar lantunan suara adzan itu, yang mengingatkan penulis kepada panggilan shalat di padang pasir. Seperti biasa, panggilan shalat itu kemudian ada yang mengikutinya, yaitu ada manusia bergegas menuju ke Mushola di tengah-tengah rumah sakit tersebut. Tetapi tidak semua penghuni rumah sakit bersikap seperti itu, ada yang langsung bangun dari tidur dan mengambil air wudlu, tapi ada pula yang justru meneruskan tidur mereka. Sikap-sikap itu ‘bebas’ dilakukan karena dijamin oleh Undang-Undang Dasar kita.
Kebebasan menjalankan ajaran agama, memang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Dengan kerangka itulah kita melaksanakan ajaran agama yang sebenarnya serba mutlak itu. Apabila dikehendaki bangsa kita tetap memiliki penghargaan terhadap keberagaman (pluralitas) yang tinggi, maka peranan sangat besar harus diberikan kepada masyarakat untuk melakukan ajakan/persuasi dalam hal-hal yang menyangkut kebenaran ajaran agama. Dalam hal ini inisiatif bukan berada di tangan negara. Di sinilah terletak kunci dari keberagaman kita sebagai bangsa. Orang boleh memilih, mana di antara ajaran-ajaran agama itu yang akan dijalankan. Memang dari situ lalu ada celah untuk pandangan fundamentalistik yang hampir-hampir tidak memberikan “ruang” bergerak bagi para penganut keyakinan lain.
****
Dalam muktamar di Banjarmasin tahun 1935, Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa Hindia Belanda -nama Indonesia waktu itu, tidak memerlukan agama Islam sebagai ideologi negara. Keputusan itu tentu saja dengan alasan-alasan yang kuat, salah satunya adalah begitu banyaknya aliran-aliran keagamaan yang hidup di masyarakat. Sudah sejak awal bangsa kita bersikap demikian ketika Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Dinasti Mataram mengumumkan “Islamisasi terbatas”, maka dua hal “diislamkannya” yang dianggap mewakili keseluruhan ajaran agama tersebut. Padahal di kraton (pusat kekuasaan pemerintah) tidak seluruh ajaran agama itu dilaksanakan. Umpamanya saja, penari perempuan di Kraton tidak tertutup bahu mereka sewaktu menari, sesuatu yang sudah tentu menyalahi peraturan formal agama tersebut. Namun Raja Mataram itu tetap dinamai Sayyidin Panata Agama.
Ini belum lagi kalau kita melihat variasi-variasi cukup besar antara berbagai aliran dalam budaya masyarakat kita. Perbedaan antara mereka memang sudah ada sejak dahulu. Dr. Taufiq Abdullah (Mantan Ketua LIPI) membagi pola-pola hubungan antara Islam dan kekuasaan menjadi empat buah, yaitu model Aceh, model Minangkabau, model Goa dan model Jawa. Pada model Aceh kerajaan Islam berkembang dari kampung-kampung kecil yang melaksanakan fiqh dalam kehidupan sehari-hari. Model kedua, terdapat dalam masyarakat matriarkal (garis ibu) di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan pusat yang mampu memaksakan kehendak kepada mereka, karena itu persatuan dan kesatuan pendapat hanya ada dalam teori melalui petatah-petitih atau ungkapan seperti: “bulat kata di mufakat”. Karena itulah masyarakat Minangkabau sangat individualistik.
Model ketiga adalah model Goa, yaitu ketika kerajaan-kerajaan Pra-Islam menerima unsur-unsur Islam melalui perkawinan dan pengangkatan, sehingga unsur-unsur itu bercampur baur dengan yang lain-lain. Contoh yang masih ada adalah Kesultanan Malaysia dan Brunei dengan para sultan yang memiliki wewenang keagamaan, tetapi bercara hidup seperti orang Barat.
Model keempat adalah model Jawa, dimana berbagai kecenderungan hidup bersama-sama dalam sebuah masyarakat. Tradisi utamanya adalah tradisi kraton yang hanya sedikit melaksanakan ajaran agama. Tradisi ke-Islaman dikembangkan di pesantren-pesantren sebagai “kraton kecil”, tapi ia hidup berdampingan dengan tradisi-tradisi lain termasuk tradisi “kraton besar” yang tidak berdasarkan ajaran agama Islam. Kedua tradisi itu hidup berdampingan secara damai, sampai sekarang pun masih terus berlanjut di jaman modern ini.
“Pola Jawa” ini kemudian menjadi pola hubungan antar pusat kekuasaan (pada tingkat terbawah berada di tangan lurah/kepala desa), dengan sendirinya terjadi hubungan formal antara kekuasaan pemerintahan dengan kekuasaan non-pemerintahan, yaitu kekuasaan para pemimpin agama, merupakan sesuatu yang ada dalam masyarakat. Kita lihat kekuasaan para pengasuh pesantren akibat pengaruh mereka di masyarakat, merupakan sebuah kenyataan sejak kita mencapai kemerdekaan. Pola ini beralih menjadi kekuatan politik gerakan Islam yang semakin bertambah besar. Tentu pada akhirnya kekuatan itu akan menurun, tetapi pada saat ini ia sedang mengalami kenaikan yang pesat. Itulah yang pada sepuluh tahun terakhir ini diusahakan sementara pihak, menjadi kekuatan politik Islam yang menguntungkan bagi mereka sendiri. Kekuatan politik Islam itu diusahakan agar berkembang menjadi kekuatan terbesar, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan Partai Golkar.
Di sini terlihat, kekuatan politik Islam digunakan untuk mendukung kekuatan politik lain. Dari sebab ini merupakan salah satu kunci kemunculan fundamentalisme Islam di negeri kita. Pada tiap manivestasi munculnya kelompok fundamentalis, selalu ada usaha untuk mengecilkan arti gerakan agama. Karena itulah, langkah-langkah yang mereka ambil selalu berbau kekerasan seperti di Ambon, Poso maupun Banyuwangi.
Kalau di Mesir gerakan-gerakan oposisi seperti Ikhwan al-Muslimin, selalu berbau penolakan terhadap pembaharuan, maka di Indonesia ‘pembaharuan’ muncul dalam bentuk gerakan radikal dan senantiasa menggunakan tindak kekerasan. Pembaharuan semacam itu ada sebagai sebuah protes sosial. Kemungkinan seperti itu tidak dapat dianggap ringan.
Sementara itu, “tindakan balasan” terhadap tindak kekerasan itu biasanya hanya berbentuk kekerasan juga. Seperti tindak kekerasan oleh DI/TII yang berbuah kekerasan pula terhadap mereka. Ini tentu tidak menyelesaikan masalah, melainkan hanya memperpanjang persoalan belaka. Karena itu, dalam upaya membasmi tindak kekerasan itu, kita tidak cukup bertindak keras belaka, seperti yang diusulkan oleh negeri-negeri lain. Kita harus mengembangkan cara-cara kita sendiri untuk “mengatasi” tindak-tindak kekerasan yang terjadi secara meluas semenjak kita mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Dengan kata lain, tindak kekerasan di negeri kita tidak dapat diselesaikan dengan tindak kekerasan balasan. Kita berpikir lebih mendalam jika ingin menemukan jawaban yang dimaksudkan.
Memang, kita harus arif dan bijaksana dalam mengemudikan masyarakat. Proses besar yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan tindakan serba keras, melainkan dengan tindakan-tindakan yang berprespektif jangka panjang dengan mencari jawaban yang tepat. Ini adalah bagian dari proses melestarikan dan mmebuang, yang ada dalam sejarah manusia, bukan?
RSCM, Jakarta 19 Juli 2005




0 komentar:

English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic
Powered by Blogger.

Blog Archive

Followers

OUR FACEBOOK

Sponsor Blog

Site Info

Copyright © 2012 Makalah Dunia ModernTemplate by :Urangkurai.Powered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.